Ilustrasi : Pixabay.com/Joelfoto |
Berbicara soal gaji (upah kerja) ini erat kaitannya dengan kesejahteraan seseorang. Dalam konteks ini tentunya kesejahteraan guru yang masih berstatus honorer. Soal kesejahteraan, soal keadilan, soal peranan guru sampai hari ini masih menjadi tema dan diskursus menarik. Walau fakta di lapangan mayoritas guru honorer menjerit soal nasib mereka.
Lalu pada tataran ini apakah perlu ada pihak yang mesti disalahkan atau dikambinghitamkan atas ketidakadilan nasib guru honorer itu? Atau karena ini menjadi masalah klasik apa kita langsung bilang ah ternyata pemerintah mentok dilevel regulasi saja. Kemudian, seandainya ketiadaan anggaran dengan latah kita bilang segera hentikan perekrutan tenaga guru honorer!
Fakta menunjukkan masih ada oknum yang berpikir pragmatif lalu bilang eh kenapa diributkan soal gaji. Kalau sudah tidak sepakat dengan sistem pembayaran keluar saja dari sekolah itu. Silahkan cari sumber penghasilan lain. Sebenarnya alasan ini ada benarnya juga. Apalagi nasib guru honorer ditentukan melalui surat keputusan kepala sekolah atau ketua yayasan. Prosesnya juga tidak rumit. Jika ada alasan kuat kepala sekolah bisa kapan saja memecat atau memberhentikan guru tersebut. Namun itu bukan solusi yang baik. Ada perihal lain yang menjadi pertimbangan khusus. Mengapa guru perlu dihargai, diapresiasi atau seorang guru patut mendapatkan reward and punishment. Yuk, baca lebih lanjut ini dia alasannya.
Pertama, dari prespektif etimologis. Kata guru dalam bahasa sanskerta secara etimologi berasal dari dua suku kata yaitu Gu artinya darkness dan Ru artinya light (Wikipedia encyclopedia). Sangat menarik ternyata kata Guru tersusun dari dua suku kata yang bermakna berlawanan yaitu gelap versus terang/bercahaya/bersinar, kemuraman versus keceriaan/kemahardikaan. Secara harafiah guru atau pendidik adalah orang menunjukkan “cahaya terang” atau pengetahuan dan memusnahkan kebodohan atau kegelapan.
Kata guru sebagai kata benda (noun) berarti pengajar (teacher) atau seorang master dalam spiritual. Sebagai kata benda bermakna pemberi pengetahuan. Sebagai
kata sifat (adjective) berarti berat “heavy” atau “weighty”. Jadi guru bermakna seseorang yang memiliki pengetahuan berbobot, berat, dan padat. Berbobot dengan kearifan spiritual, keseimbangan spiritual, berbobot karena kualitasnya yang bagus teruji dilapangan, kaya dengan pengetahuan.
Luar biasa, bukan? Terlepas dari status kepegawaian (PNS/Non PNS) bahwa kita punya predikat sama yakni sebagai guru.
Kedua, soal etis-moral. Bahwasanya bahwa seseorang tidak serta merta melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa membuka ruang dialog atau pembinaan jika seseorang itu bersalah. Seorang guru bisa diberhentikan kapan saja jika melakukan tindakan amoral, korupsi, indisipliner berat, kriminalitas dan menganut ideologi lain di luar konteks NKRI. Kalau soal ini kita sepakat. Jangan sampai dia hanya menjadi parasit bagi bangsa ini.
Ketiga, kemampuan manajerial seorang kepala sekolah. Mengelola dana BOS dan berbagai sumber dana lainnya merupakan bagian yang terintegrasi dengan kepala sekolah - tugas kepala sekolah sebagai manager. Kepala sekolah dalam konteks ini mengelola uang negara yang juga berasal dari uang rakyat. Kepala sekolah mengoptimalkan seluruh kualitas managerialnya untuk menggerakan sistem, subsistem, dan elemen atau sumberdaya di sekolah untuk mewujudkan cita-cita pemerintah (negara) seperti yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4.
Keempat, quality of leadership. Membuat warga sekolah sejahtera itu bagian dari fungsi kepemimpinan seorang kepala sekolah. Kepemimpinan yang kuat dan kepemimpinan yang pro-guru intinya ada prinsip-prinsip keadilan di sekolah. Kepala sekolah berani menerapkan reward and punishment. Siapa yang berkinerja dia perlu diapresiasi sesuai dengan anggaran yang ada. Jangan sampai sebagian hanya menikmati keringat dari sebagian orang yang bekerja.
Prinsip Pembiayaan
Dari prespektif hukum alam dikatakan bahwa semakin sejahtera hidup orang itu biasanya sebanding dengan kinerjanya. Atau jika memakai kata atau kalimat yang lebih atraktif orang tersebut akan lebih produktif.
Guru honorer di sekolah negeri pada praktik pembiayaan dibagi atas tiga, antara lain : 1) upah atau gaji yang bersumber dari dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah ), 2) Dana Komite, dan ke - 3) gabungan dari dana BOS dan dana komite sekolah. Kebijakan nominal ini semua ditetapkan oleh kepala sekolah atas dasar rapat dewan guru, asumsi Dana BOS, dan RKAS.
Asumsi dana BOS ini berkaitan dengan kebijakan revolusioner Mendikbud, Nadiem Makarim yakni teknis penyaluran dana BOS reguler yang baru diatur melalui Peraturan Mendikbud (Permendikbud) Nomor 8 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Bantuan Operasional. Dalam Permendikbud ini dikatakan bahwa pembiayaan gaji guru honorer maksimal 50 persen dari alokasi dana BOS. Ada asumsi yang berkembang bahwa sekolah wajib mengalokasikan dana BOS sebesar 50 persen. Padahal itu disesuaikan dengan kondisi keuangan sekolah. Tidak serta merta 50 persen semua untuk menggaji guru honorer.
Selain pertimbangan di atas, ada pertimbangan lain yaitu UMP. Upah Minimum Provinsi Nusa Tenggara Timur untuk tahun 2020 adalah Rp 1,95 juta. Keputusan ini tertuang dalam SK Gubernur nomor 367/KEP/HK/ 2019 1 November 2019.
Bagi sekolah-sekolah yang bonafit, UMP NTT di atas tak menjadi persoalan. Bahkan sudah banyak sekolah yang sudah memberi upah kepada guru-guru mereka angka di atas Rp. 2 juta. Namun masih banyak guru di sekolah lain upahnya di bawa batas kewajaran. Misalnya di bawa Rp. 500 ribu. Dengan nominal ini banyak guru yang lebih banyak mengeluh ketimbang mengajar. Kalaupun ia mengajar sudah pasti tidak akan maksimal.
Rujukan upah atau gaji guru honorer yang layak tentu berpatokan pada UMP. Dalam hal ini UMP Provinsi NTT. Jadi nilai wajar yang mesti diterima oleh seorang guru honorer adalah Rp.1,95 juta - Rp. 2 juta. Karena penentuan UMP sudah berdasarkan berbagai kajian, pertimbangan yang wajar dan layak. Lalu bagaimana merealisasikan?
Pada kesempatan ini admin menggunakan term subsidi silang pendanaan guru honorer sekolah. Sumber dana yang nyata tahun anggaran 2020 di NTT sebagai berikut : Ada insentif perbulan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar Rp. 400 ribu / bulan. Dana BOS maksimal 50 persen dan dana subsidi komite. Jika sekolah memberi upah berdasarkan UMP Rp. 2 juta misalnya, maka di atas kertas satuan pendidikan (sekolah) tinggal mencari kekurangan Rp. 1,6 juta. Tinggal bagaimana pihak sekolah dan komite sekolah merancang kekurangan dana tersebut. Apa pake pola fifty-fifty atau 60 persen dari Dana BOS dan 40 persen dari komite sekolah.
Jika diangka itu (Rp.1,95 juta - Rp. 2 juta) sebulan bisa terealisasi maka tiba saatnya kita berbicara kualitas pendidikan tanpa kompromi. Guru mana yang berkualitas dan berkinerja baik di pertahankan yang gagal memenuhi ekspektasi pendidikan mesti di-reject. Maka setiap pendidik dan tenaga kependidikan akan berusaha mengaktualisasikan dirinya. Bukan saja guru honorer tapi termasuk guru PTT maupun PNS.
Dengan demikian jawaban dari pertanyaan di atas adalah pemerintah tak harus disalahkan karena pemerintah itu prinsip kerjanya sistematis. Tinggal bagaimana sikap dan kesadaran kolektif masing-masing individu yang berada pada sistem itu. Kebijakan yang sifatnya verbal tidak akan terwujud tanpa komitmen dan kesediaan anggaran.
Apakah ketiadaan anggaran maka sekolah dilarang mengangkat tenaga honorer? Jika dana atau anggaran itu bersumber dari APBN dan APBD jelas tidak ada peluang untuk mengangkat tenaga honorer baru. Jika dana itu bersumber dari komite dari sumber lain yang tidak bersifat pungutan maka sekolah boleh saja mengangkat honorer baru untuk kebutuhan kegiatan pembelajaran.*
No comments:
Post a Comment
Kami sangat menghargai pendapat Anda namun untuk kebaikan bersama mohon berkomentarlah dengan sopan!