Ahmad Syafii Maarif //Wikipedia.org |
Pada awalnya saya hanya mengetahi namanya Prof.
Dr. H. Ahmad Syafii Maarif. Pada akhirnya saya tahu kalau Buya Syafii Maarif yang
lahir di Sumpurkudus, Sijunjung, Sumatra Barat, 31 Mei 1935 atau 85 tahun lalu
adalah tokoh besar, cendikiawan muslim sekaligus mantan Ketua Umum Pengurus
Pusat Muhammadiyah (2000 - 2005). Sampai hari ini ia terus menjadi panutan bagi anak bangsa dengan kesederhaan hidupnya.
Arti kata buya adalah bapak atau gelar ulamanya
kyai. Seperti dikutib dari Wikipedia, Buya adalah gelar ulama di ranah Minang untuk
seorang kiai di Minang.Gelar ini biasanya diberikan kepada orang yang alim
dalam ilmu agama.Istilah Buya dikenal di wilayah Sumatra khususnya Sumatra
Barat. Seseorang dipanggil buya terutama disebabkan pemahamannya yang mendalam
terkait pengetahuan agama.
Muhammadiyah adalah salah satu ormas Islam
terbesar di Indonesia. Bayangkan saja menjadi pemimpin ormas Islam sebesar
Muhammadiyah pada situasi pasca reformasi tentu memiliki tanggung jawab besar
disaat pemerintah meletakan haluan negara selama masa transisi itu. Saat
itu kita menghadapi transisi kekuasaan dan dilema kebangsaan. Kemana arah kita
pasca reformasi?
Jika kita tarik ke masa itu artinya Buya Syafii
dan Muhammadiyah-nya bersikukuh tetap tegak dan teguh dalam kemajemukan NKRI.
Keteguhannya ia bawa sampai masa tuanya hari ini.
Namun ketika kasus Al Maidah 51 dan Ahok
mengemuka nama Buya Syafii makin familiar di telinga saya bahkan kita semua. Sepak
terjang beliau bukan hanya di telinga tapi masuk dalam benak dan masuk dalam
radar pemikiran saya. Saya akhirnya rajin googling untuk mendapatkan
informasi terkait Buya Syafii.
"Orang ini kok aneh ya? Berani menyebrang
melawan arus utama. Mestinya beliau cukup duduk manis menikmati masa tuanya,” itu
kata saya.
Bayangkan saja jika orang sekelas Buya Syafii
berdiri menempati posisi Habib Rizieq, pada Aksi Bela Islam itu, entah apa yang
akan terjadi dengan bangsa ini. Tapi ia berani memposisikan diri sebagai suar
bangsa. Sebagai kompas bagi bangsa ini dalam membentangkan layar bahtera bangsa
disaat mengarungi samudra tantangan yang kerap dihantam badai syahwat kekuasaan
dari pihak-pihak yang ingin berkuasa bahkan ingin menghancurkan bangsa ini.
Aksi Bela Islam itu murni ekpresi keimanan
saudara-saudara muslim yang tulus membela agamanya namun ada penumpang gelap
yang mau memanfaatkan momentum itu.
Saya ingat saat Pak Joko Widodo memilih Buya Syafii sebagai Ketua Tim Independen untuk mengatasi konfliknya KPK vs Polri di awal tahun 2015. Di bawah kendali beliau konflik itu redam dan kini KPK dan Polri kembali bersinergi. Ini salah satu kapasitas beliau.
Bukan Buya Syafii jika tidak kritis. Ia kritis
ketika pihak-pihak tertentu membenturkan nilai-nilai kebangsaan dengan paham
paham primordial. Bahkan teman sekalipun ia kritik. Jika oknum itu dianggap
amnesia dengan sejarah berdirinya bangsa.
Pada tanggal 26 November 2016, Buya Syafii,
dengan lantang mengkritik fatwa yang dikeluarkan oleh MUI kalau Ahok telah
melakukan penistaaan agama. Padahal, proses tabayyun belum dilakukan.
Akibat sikapnya itu Buya dicap pikun, dibully
oleh kaum-kaum yang tuna budaya. Yang tidak tahu bagaimana sepak terjang beliau
untuk bangsa dan negara ini.
Akhir akhir ini, beliau berada dibelakang
pemerintah. Ia mendukung pembubaran ormas anti Pancasila seperti HTI, dan
mendukung RUU Ormas. Sikap pemerintah soal ini kerap menuai reaksi penolakan
dari berbagai kalangan. Namun dengan hadirnya tokoh-tokoh sekelas Buya Syafii,
Kyai H Said Aqil Siradj, Frans Magnis Suseno, dll bangsa ini masih punya cahaya
harapan. Masih banyak guru bangsa yang menjadi suar bangsa. Suar harapan. Mereka berani menantang arus demi sebuah taman
impian bernama Indonesia.
Tetap sehat Buya, bila ada kesempatan saya ingin mendengar
celetukmu. Mengikuti jejak keberanianmu.
No comments:
Post a Comment
Kami sangat menghargai pendapat Anda namun untuk kebaikan bersama mohon berkomentarlah dengan sopan!