Ilustrasi : Pixabay.com |
"Orang yang suka berkata jujur mendapatkan tiga hal : kepercayaan, cinta, dan rasa hormat " Ali bin Abi Thalib.
Kejujuran dalam konteks kekinian acap kali dianggap bodoh atau tidak cerdas. Kasarnya, kalau loe hidup jujur yang ada merugi,coy. Sebaliknya orang yang pandai merekayasa keadaan, mengkonstruksi kata-kata pembodohan massal malah itu dianggap hebat, cerdas dan pintar. Orang-orang golongan kerap diacungkan dipuja dan dipuji. Jika dia diserang maka akan dibela mati-matian.
Tapi sayang kompensasi dari buah kejujuran dan kesederhanaan hidup itu tidak dinikmati oleh orang-orang jujur itu sendiri. Mereka ada dan bekerja walau kinerjanya diakui tapi masih di-bully, dihina bahkan diancam. Barangkali dia gagal soal pencintraan.
Dijagad maya misalnya, kita akan menjumpai apa yang dikatakan kebebasan. Orang bebas mencemooh, bebas berkata kasar. Lebih kejam lagi suka memfitnah. Sosial media akhirnya membuka mata kita bahwa ada peradaban yang baru lahir. Bebas tapi kebablasan. Namun sayang itu dinikmati dengan suka cita.
Ironi memang. Yang muda kehilangan keadaban. Yang tua makin lupa diri dan usia. Tua bukannya menyemai kebajikan. Malah menebar kebencian. Yang muda bukannya menjadi generasi yang kreatif dan produktif malah menjadi kaum yang buntung sosial. Nafsu dan serakah merajalela. Agama bukan dimuliakan namun diperdagangkan.
Apa sebab itu semua?
Semua karena ketiadaan kejujuran, tamak dan sikap hedonisme: redupnya kebanggaan hidup dari pola hidup sederhana. Karena itu mereka terperangkap dalam syahwat politik yang narcissus, sarkastis, dan rasistik.
Matinya kejujuran dan hilangnya kebanggaan hidup sederhana menghadirkan kebanggaan baru dalam konteks kekinian atau yang lagi ngetren zaman now adalah orang makin bangga dan puas kalau ia semakin banyak menipu orang. Ia bangga dengan produk-produk luxury yang mungkin diperoleh dengan jalan haram dan korup. Ya itu tadi, mereka terbius dengan kebanggaan semu (pseudo) karena dipuja - puji oleh pengikutnya. Tapi tidak memiliki mentalitas satria.
Hidup jujur dan sederhana di era milenium ini sebenarnya sudah diperagakan oleh Muder Teresa dari Calcuta, India. Ia menanggalkan hak-hak istimewa manusiawinya dan mengganti dengan kaul kemiskinan. Ia turun ke kantong kantong miskin dalam senyap. Kerja tanpa pamri. Bersentuhan langsung dengan kaum miskin, penderita AIDS, menolong orang sakit, kusta, dll. Tak pernah ia memikirkan kelak ia aka menjadi perempuan berpengaruh atau orang kudus yang ia sandang hari ini dalam kematiannya yang membahagiakan itu. Itu contoh dari kejujuran dan kesederhanaan.
Ada sosok yang masih hidup bersahaja. Cendikiawan muslim dan mantan Ketua Umum Muhammadiyah, Buya Syafii Maarif. Dia adalah ikon kebersahajaan. Ia mencintai keberagaman dan toleransi. Ia sudah tuntas dengan dirinya sendiri. Ia menjadi panutan hidup bagi generasi muda. Ia adalah suar bangsa.
Baca Juga : Buya Syafii Suar Bangsa Yang Masih Bercahaya
Lantas masih adakah orang saleh yang setiap saat berceramah agama lalu terjun ke kantong-kantong kemiskinan itu? Meminjam bahasa seorang penulis asal Sumba Timur, Yongky HS, “ kita hanya mendesain keberpihakan hanya dalam bingkai belas kasihan.” Dimana praktik belas kasihan dalam hidup nyata dari mereka-mereka itu? Kalau orang yang dianggap dosa dan jahat itu mampu melakukan kebaikan kalau begitu apa bedanya kita dengan mereka?
Mestinya yang berbicara atas nama agama dia membumi dengan imannya. Dia bukan melayang ke angkasa. Rajin berbicara surga tapi takut kala ajal menjemput. Lalu apakah makna surga itu?
Tapi kita akan sadar, kebaikan akan dikenang setelah pribadi itu tiada. Seperti harimau yang akan meninggalkan belang, gajah yang meninggalkan gadingnya sama halnya ketika manusia mati akan meninggalkan budi baiknya.
Hidup jujur itu berat memang sayang. Dia tak seindah teori. Dia butuh kerelaan hati atau keikhlasan. Dia butuh energi besar untuk mengalahkan keinginan daging. Hidup sederhana itu tidak selamanya identik dengan miskin. Dia adalah pilihan kerendahan hati. Pilihan yang elegan. Belajar hidup jujur dimulai dengan jujur pada diri sendiri.
Seorang imam besar Ali bin Abi Thalib sudah mengatakan setiap orang yang selalu berkata jujur akan memperoleh kepercayaan, cinta dan rasa hormat. Tapi ingat, kejujuran itu teman dekatnya kesederhanaan.*
No comments:
Post a Comment
Kami sangat menghargai pendapat Anda namun untuk kebaikan bersama mohon berkomentarlah dengan sopan!