Masa kanak-kanak kita tak pernah terlintas apalagi memikirkan "benda" yang bernama perbedaan itu. Kita bermain bebas dalam dunia anak-anak tanpa dibelenggu oleh hal-hal yang secara kodrat sudah dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Seperti perbedaan jenis kelamin, warna kulit, ras, agama atau suku bangsa, bahasa dan lain-lain.
"Nak, bermain sama teman-teman disana ya!" Itu ajakan ibu-ibu pada umumnya saat itu.
Masa itu indah. Ingin rasanya kembali ke masa itu ketika hari ini kita berjarak antara satu dengan yang lain. Karena perbedaan. Padahal, kamu, dia dan aku adalah kita (sebangsa - Indonesia) dan se-ras yakni manusia.
Baca Juga : Cerita Hidup Toleransi Dari Manggarai (Flores) Sampai Ke Kaliuda (Sumba) Ternyata Cukup Sederhana
Saya selalu mengungkit-ngungkit asal usul Indonesia ketika hari ini mereka bertengkar, berteriak mempermasalahkan perbedaan. Padahal perbedaan adalah keniscayaan. Dan itu seharusnya dipahami dan dimaklumi secara kolektif dalam konteks Indonesia dan kekinian yang mengglobal.
Kemarin di sebuah rumah alang, saya bercerita "ngalor ngidul" soal toleransi dengan dua saudara muslim yang mengalami kehidupan di daerah mayoritas. Mereka dilahirkan, tumbuh menjadi remaja walau beberapa tahun kemudian adik - kakak itu menempuh pendidikan di pesantren. Namun begitu mereka merasa tetap bagian dari anak Sumba sekaligus memegang nilai-nilai seperti apa yang dinamakan toleransi dalam kebhinnekaan. Mereka hidup bersama tanpa harus mengorbankan keyakinan mereka.
Di masa kanak-kanak, mereka bermain bersama tanpa ada "sikap gagap" dalam menjumpai perbedaan. Perbedaan tidak merenggut kenikmatan mereka di masa itu. Mereka cuman diingatkan, "dek jangan makan daging **bi atau ***jing" oleh orang tua mereka. Itu haram. Itu diluar aqidah kita. Dan tanpa diingat pun sudah barang tentu masyarakat asli akan melarang anak-anak muslim tidak diperkenankan makan daging haram itu. Dan ini sudah menjadi kesadaran umum masyarakat setempat.
Dan hingga hari ini mereka membaur, hidup (bahkan tinggal) serumah dengan orang non muslim dan tak sedikitpun merasa aqidahnya dinodai oleh pilihan sikap seperti itu. Sikap inklusif. Nyatanya ia setiap hari lebih banyak ke mesjid berdoa dan menunjukkan sikap hidup sederhana dengan wajah keislamannya penuh cinta.
Baca Juga : Pria Di Gubuk Sederhana Itu
Ia menikmati cara seperti itu. Ia merasa seperti inilah Indonesia kita. Bukan Indonesia yang kearab-araban, keyahudi-yahudian, atau ke-Indiaan. Kita Indonesia yang ber-Pancasila dan berbhineka tunggal ika.
Seperti kata Bung Karno, “Kalau jadi Hindu, jangan jadi orang India. Kalau jadi Islam, jangan jadi orang Arab. Kalau jadi Kristen, jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini.”
No comments:
Post a Comment
Kami sangat menghargai pendapat Anda namun untuk kebaikan bersama mohon berkomentarlah dengan sopan!