“Demokrasi adalah sebuah kehidupan, yang menuntut perjuangan terus menerus tanpa lelah,” (Robert LaFollete seorang senator dari Wisconsin).
Pesta akbar demokrasi (pemilu) telah berlalu. Akan tetapi prosesnya masih terus berjalan. Masyarakat dihimbau agar tetap mengawal jalannya tahapan proses demokrasi. Ada hal-hal menarik dan layak untuk diperbincangkan terutama mengenai jalannya pemilihan presiden (pilpres) kali ini. Pilpres kali ini tergolong unik jika dibandingkan pelaksanaan pilpres langsung di era reformasi sebelumnya. Karena pada pilpres kali ini hanya ada dua paket capres/cawapres. Oleh karena hanya ada dua kubu yang berkompetisi, menghadirkan rivalitas sengit dalam kontestasi politik tanah air.
Mengenai hasil pilpres sudah kita ketahui. Fakta itu terlihat dari hasil real count KPU yang diumumkan pada hari Selasa, (22/7/2014). Namun demikian publik harus bersabar, karena keputusannya harus ditentukan lagi di Mahkamah Konstitusi. Semoga saja dengan independensi Mahkamah Konstitusi menghasilkan sebuah keputusan yang fair dan adil untuk membuktikan bahwa proses pilpres kali ini berjalan demokratis.
Baca Juga : Rendahnya Minat Siswa Untuk Belajar Matematika
Dalam tulisan ini tidak membahas masalah politik yang sedang berlangsung sekarang, apalagi mengkaji sengketa pilpres. Saya mangartikan demokrasi itu sebagai harmoni, pengakuan, dan penghargaan. Setidaknya ketiga hal ini menjadi elemen dasar berdemokrasi agar kehidupan berbudaya demokratis terwujud. Proses demokratisasi itu diharapkan mampu melahirkan pemimpin baru sebagai manifestasi kehendak rakyat.
Lantas, apa yang dipertontonkan dalam drama pilpres kemarin? Bisa dikatakan demokrasi belum menelurkan nilai (value) bagi publik sebagai pembelajaran politik. Yang terjadi bahwa demokrasi masih dalam tataran prosedural. Nilai yang seharusnya menjadi kado untuk generasi muda tak nampak. Justru masifnya kampanye hitam (black campaign). Black campaign dianggap sebagai senjata pamungkas untuk meraih kekuasaan. Padahal yang diharapkan publik adalah etis dan etos dari demokrasi itu sendiri. Bukan aneka konfirmasi oleh pihak yang menganggap dirinya sebagai pihak yang teraniaya. Sungguh ironis. Jauh dari tujuan luhur politik yaitu kebaikan bersama.
Jika black campaign sebagai sebuah alternatif pilihan dalam politik, dan berlanjut pada setiap periode kepemimpinan maka apa yang akan terjadi di masa datang? Yang jelas, kawan akan “makan” kawan, atau bila meminjam istilah Thomas Hobbes, “homo homini lupus,” manusia itu akan menjadi serigala bagi manusia lain. Sehingga pada akhirnya kita hanya akan menjumpai sebuah “pertarungan” politik bukan nilai (value) yang disajikan dalam setiap perhelatan demokrasi.
Ketinggalan “Kereta Demokrasi”
Jika ditelusuri kebelakang sebelum bergulirnya era reformasi, spirit demokrasi dipasung oleh rezim otoritarian orde baru. Era baru reformasi membuka keran demokrasi bagi warga negara: untuk menyampaikan aspirasinya secara bebas. Walau demikian, demokrasi masih berjalan alot. Hal ini disebabkan masyarakat belum mafhum hakekat demokrasi itu sendiri. Sehingga demokrasi kita cenderung kebablasan. Terlihat, tidak banyak aksi-aksi demonstrasi berakhir damai. Justru banyak aksi-aksi tersebut berujung ricuh dan anarkitis.
Baca Juga : Lompatan Jauh Kedepan
Alotnya jalan menuju ruang demokrasi yang luhur karena tidak disokong oleh elemen demokrasi. Sehingga demokrasi kita seperti tanpa ruh. Padahal ruh dari demokrasi dapat membangkitkan kehidupan berdemokrasi bagi warga bangsa kearah yang lebih baik. Kehidupan demokrasi yang baik seharusnya diindikasikan dengan adanya harmoni kehidupan , adanya pengakuan atas hak-hak setiap warga negara, dan adanya penghargaan atas pencapaian-pencapaian dari warga negara itu sendiri. Tapi indikasi dimaksud belum dirasakan sepenuhnya oleh masyarakat.
Tak perlu menyangkal, kalau dikatakan demokrasi di Indonesia masih milik segelintir orang. Demokrasi masih untuk orang-orang yang bermodal (pengusaha) atau orang-orang yang memiliki kekuasaan. Seharusnya desain bangunan demokrasi membuka akses yang lebih luas kepada anak bangsa. Sebenarnya! Demokrasi perlu menghadirkan kesetaraan akses politik bagi warga negaranya.
Dengan desain model demokrasi yang memberi akses luas bagi masyarakat, kita akan memiliki stok tokoh-tokoh politik alternatif yang berintegritas, dan siap mengabdikan hidupnya untuk rakyat. Oleh karena itu, untuk melahirkan tokoh-tokoh alternatif diperlukan sistem demokrasi yang baik dan berkesinambungan. Maksudnya perlu ada kesiapan sumberdaya (pengkaderan), bimbingan atau melalui proses pembelajaran di lembaga pendidikan sejak usia dini.
Ruang Demokrasi
Pembelajaran demokrasi dimulai dari ruang kelas. Karena ruang kelas sebagai suatu masyarakat kecil yang merupakan bagian dari masyarakat sekolah yang terintegrasi dalam satu unit kerja untuk menyelenggarakan kegiatan pembelajaran yang kreatif guna mencapai tujuan ( H Nawawi, 1989). Menurut S Arikunto, (1990), bahwa kelas sebagai sekelompok siswa yang pada waktu yang sama menerima pelajaran yang sama. Dari prespektif sosiologi kelas adalah mikrososiologi. Maksud dari mikrososiologi bahwa kelas adalah gabungan dari individu-individu yang membentuk suatu kelompok sosial dengan peran yang kompleks dalam pendidikan.
Kelas akan didapati sekumpulan masyarakat usia sekolah dalam ruang kecil yang berbeda, dengan keunikannya yang berbeda-beda pula. Perbedaan ini bukan sebuah masalah atau halangan tetapi perbedaan ini menunjukan suatu iklim demokrasi. Sebab demokrasi itu lahir karena adanya perbedaan. Nah, dalam konteks inilah pendekatan atau gaya demokratis diharapkan terjadi.
Proses pembelajaran dengan gaya demokratis di kelas ditandai dengan adanya ruang untuk bertukar pandangan, dan kebaikan bersama dikonstruksikan melalui musyawarah. Ruang kebebasan / kemerdekaan (liberty) mengungkapkan pendapat, saran, atau pandangan harus dibuka lebar oleh guru. Gurupun perlu menyadari bahwa ada kesetaraan (equality) antara siswa (peserta didik) dengan dirinya. Guru jangan menganggap diri sebagai makhluk maha tahu atau sumber kebenaran. Sikap ini akan mengekang jalannya demokrasi dalam kelas.
Praktek demokrasi di dalam ruang kelas dimulai dengan penerapan kepemimpinan demokratis. Kepemimpinan demokratis dimaksudkan adalah lahirnya seorang pemimpin karena terlaksananya konsep-konsep demokrasi di ruang kelas. Misalnya, untuk urusan pemilihan ketua kelas tak perlu melalui penunjukan oleh wali kelas. Wali kelas cukup menokohkan diri sebagai fasilitator.
Proses demokrasi bisa juga dijalankan selama kegiatan KBM. Guru memberi kesempatan kepada setiap siswa untuk mengaktualisasikan kemampuannya. Guru dituntut kreatif mencipta skema dialogis dan mengajak serta siswa aktif terlibat (partisipatoris). Tindakan ini untuk mengeksplorasi kemampuan peserta didik menuju budaya demokrasi.
Baca Juga : Berdemokrasi Tanpa Baper!
Hindarilah tindakan yang selalu mengutamakan siswa-siswa cerdas sebagai problem solving di dalam ruang kelas karena akan mengkerdilkan keberadaan siswa lain yang bukan kategori siswa cerdas. Mereka akan menjadi minder dan akan melakukan aktivitas negatif: mengusik teman, misalnya, sebagai katarsis untuk menunjukan jati diri mereka. Dan sebagai pendidik yang baik jangan irit memberi penghargaan (reward) dalam bentuk pujian. Karena pujian guru dapat menggairahkan semangat belajar peserta didik.
Jika proses demokratisasi dimulai dari ruang kelas dengan menerapkan nilai dan konsep-konsep yang demokratis itu berjalan baik, maka, pemimpin yang hadir adalah pemimpin yang cerdas sekaligus berintegritas yang akan memuliakan nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Pemimpin tersebut akan memberi keseimbangan (harmoni), kesetaraan, dan penghargaan serta melayani rakyatnya. Dengan demikian saya sepakat bahwa demokrasi itu sebuah kehidupan, dan layak untuk diperjuangkan! Salam 3 Jari – Persatuan Indonesia.*
No comments:
Post a Comment
Kami sangat menghargai pendapat Anda namun untuk kebaikan bersama mohon berkomentarlah dengan sopan!