Suatu julukan yang menggema “Guru Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”, mungkin akan berlaku sepanjang sejarah bahkan sempai akhir dunia ini, “engkau bagai pelita dalam kegelapan, namamu akan terukir dalam sanubariku”, inilah beberapa penggalan syair dalam (Hymne Guru), dalam suasana khidmat bagi guru yang mendengarkan secara khusuk lagu ini, bisa menitikan air mata.
Syair dan irama yang menghibur hati, yang mampu menghilangkan kepenatan sesaat, sebuah lagu nan indah dan penuh makna yang mendaulatkan guru sebagai sang pelita dalam kegelapan.
Namun dimanakah kepopuleran lagu dikalangan siswa saat ini, baik dari tingkat sekolah dasar maupun sekolah menengah, percaya atau mungkin kita menolaknya untuk percaya, jika kita boleh menawarkan kepada siswa untuk menulis syair lagu itu secara utuh atau menyanyikan lagu tersebut, yakin. 90 persennya banyak yang lupa atau bahkan sama sekali tidak mengetahuinya.
Baca Juga : Bersahabatlah Dengan Buku
Apa masalahnya, boleh dikatakan bahwa pendidikan sekarang ini lebih beroreantasi pada pencapaian, sehingga nilai-nilai apresiasi nyata yang harus ditanamkan pada anak didik ditinggalkan, yang nampak sekarang adalah kurangnya penghargaan siswa kepada gurunya.
Seiring dengan fenomena ini, rasa penghargaan yang harus diberikan peserta didik kepada guru semakin terkikis oleh ulah ilah zaman yang lebih mendidik dengan system yang instant, dengan pola yang lebih memberikan kebebasan yang sebesar kepada siswa dalam mengoptimalkan kemampuannya.
Atau mungkin penyebabnya adalah perubahan paradigma, ketika peran guru sebagai sumber informasi (teacher center) yang memiliki otoritas, berubah peran menjadi guru sebagai fasilitator, yang melahirkan anggapan-anggapan bahwa peran guru dan murid sama sebagai subjek pendidikan atau hal yang membedakan hanya terletak pada statusnya saja, yang berimplikasi pada kurangnya respek peserta didik terhadap sosok sang guru.
Realitanya nampak dan jelas, sering kita melihat dan menikmatinya, saat dimana ketika kita menonton dalam sinetron remaja tertentu, secara kasar boleh dikatakan melecehkan kredibilitas guru. Hal ini ditunjukan ketika sosok guru dilakoni sebagai guru yang seenaknya dikerjaian oleh siswa-siswinya, guru yang digurui, guru yang temparement, guru yang tidak professional atau seorang ibu guru yang berpenampilan berlebihan, red (seksi), sebagai obyek yang menarik.
Memang kita tidak bisa pungkiri kenyataan itu, tapi apakah itu patut dipublikasikan, sehingga menjadi bahan konsumsi khalayak ramai terutama peserta didik kita. Sadar atau tidak sadar pengarunya sangat besar. Jangan heran bila ada perilaku menyimpang dari siswa terhadap gurunya.
Baca Juga : Wonderful Teaching
Berpijak dari hal diatas, apakah kita menganggap peristiwa-peristiwa itu sebagai suatu fakta yang harus ada di zaman ini, atau sebagai motivasi guru untuk kembali (back to track) pada hakikat guru sesunggunya, profesionalisme guru atau membangun kembali wibawa guru yang sementara mengarah pada degradasi respektivitas.
Untuk membangun eksistensi guru perlu memperhatikan beberapa hal yang berkaitan dengan peran guru, yang harus dipahami yaitu:
Hakikat Guru
Hakikat guru dalam konteks yang sempit adalah sebagai pengajar. Bila kita kaitkan dengan pengertian guru, bahwa guru adalah orang yang memiliki kewenangan formal dan mendapat kepercayaan dari pemerintah dan atau yayasan untuk mendidik dan mengajar pada lembaga pendidikan tertentu (dalam Umbu Tagela, 2008)
Menurut Prof. Dr. H. Mohammad Surya dalam Bukunya Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran (2003:81) guru tidak terbatas hanya sebagai pengajar dalam arti penyampai pengetahuan akan tetapi lebih meningkat sebagai perancang pengajaran, manajer pengajaran, pengevaluasi hasil belajar dan sebagai direktur belajar.
Pernyataan ini menegaskan bahwa tugas seorang guru bukanlah pekerjaan yang mudah, tetapi pekerjaan yang membutuhkan komitmen, disiplin dan tanggung jawab yang besar.
Dari tugas guru inilah, akan menghadirkan siswa/siswi yang berkualitas, sebagai buah karya sang pendidik. Alhasil ketercapaian peserta didik itu untuk kemaslahatan pribadinya dan dampaknya pada setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara kearah perubahan.
Sebenarnya dari hal ini juga, bila subyek dua (peserta didik) memahami statusnya, secara naluriah akan mengerti betapa vitalnya peran guru dalam hidup dan kehidupannya.
Baca Juga : Siswa Sering Bosan Belajar Di Kelas? Guru Lakukan Langkah Berikut
Dengan pemahamannya itu tentu tidak ada kontradiksi yang merugikan pribadi siswa itu sendiri atau dengan tindakan siswa itu menimbulkan apriori publik kepada guru.
Profesionalisme Guru
Guru sebagai pribadi yang utuh harus juga memiliki sikap dan kepribadian yang positif yang senantiasa melingkupi dan melekat pada setiap hal yang mengarah pada profesionalismenya.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, profesionalisme berasal dari kata profesional yang berarti berkenaan dengan pekerjaan atau berkenaan dengan keahlian, sedangkan profesionalisme adalah mutu dan tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi.
Jadi profesionalisme seorang guru adalah suatu pekerjaan yang menuntut seorang guru harus memiliki keahlian yang berkualitas. Boleh kita katakan bahwa profesionalisme guru, lebih mengarah pada bagaimana seorang guru harus professional.
Menurut M. Surya (2003) guru professional adalah guru yang memiliki keahlian, tanggung jawab, dan memahami etika profesi. Maka bila kita menjalankan tugas atau profesi guru dengan penuh tanggung jawab serta memahami etika profesi maka problem-problem yang marak terjadi pada guru dewasa ini yang menyebakan kurangnya penghargaan guru dimata masyarakat maupun anak didiknya, tentu dapat dihindari.
Problematika real yang nampak kini, yang mengarah pada ancaman terhadap keutuhan pribadi guru sebagai sosok yang nampak di masyarakat perlu dicari solusinya, Bagaimana?
Membangun Wibawa Guru
Hubungan antara guru dan murid adalah hubungan kewibawaan. Kewibawaan atau wibawa kadang menimbulkan makna konotasi, lebih identiknya, bila meniru bahasa ABG (Anak Baru Gede) Jakarta Jaim red (Jaga Imej) maksudnya adalah terlalu kaku, jaga sikap, pura-pura, maka situasi yang diciptakan adalah situasi yang penuh dengan kekakuan.
Sehingga kegiatan belajar mengajar yang sesungguhnya aktif dan komunikatif, menjadi suasana yang tidak interaksi dan matinya partisipasi siswa yang disebabkan oleh perilaku tersebut.
Menghadapi hal itu, bagaimana sikap guru dalam memberikan kesan yang berwibawa yang murni (bukan dibuat-buat) yang bersumber dari dalam diri yang mencerminkan kewibawaan sang pendidik.
Yang dibutuhkan adalah kreativitas guru, boleh juga dikatakan bagaimana menjadi guru yang kreatif dalam menghadapi wibawa yang konotasi.
Menurut K.H Timotius (2008) dalam ceramah tentang kreativitas, mengatakan bahwa kreatifitas adalah ketrampilan yang diperlukan untuk mencapai kondisi yang lebih baik.
Maka dalam menghindari penolakan terhadap kesan wibawa yang berlebihan, sederhananya kita bisa melakukan berbagai perbuatan atau sikap yang tidak bertentangan baik dengan situasi maupun kondisi masa kini, seperti: mengembangkan kemampuan akademik atau vokasional yang kita miliki, berkomunikasilah dengan bahasa yang baik dan benar, jadilah sosok yang menarik dengan penampilan dan pembawaan yang baik, pendengar yang baik ketika siswa berkeluh kesah atau ketika memberikan komentar, jadilah pakar yang jujur, menyukai pekerjaan dan terus berusaha menjadi teladan yang baik.
Dengan melaksanakan perbuatan atau sikap tersebut, itulah yang akan menunjukan pribadi guru yang sepenuhnya, yang disegani bukannya ditakuti, sehingga kewibawaan itu akan lahir karena kesan yang diberikan secara alami atau kesan yang timbul karena perilaku yang menyenangkan oleh guru terhadap siswa sebagai responden.
Baca Juga : Rendahnya Minat Siswa Untuk Belajar Matematika
Dengan demikian, kewibawaan merupakan salah satu unsur kepribadian dalam diri seseorang baik sebagai pribadi maupun sebagai pemegang otoritas tertentu. Secara umum kewibawaan dapat diartikan sebagai suatu “kualitas daya pribadi” pada diri seorang individu yang sedemikian rupa membuat pihak lain menjadi tertarik, bersikap mempercayai, menghormati, dan menghargai secara instrinsik (sadar,ikhlas) sehingga secara instrinsik pula mengikutinya (M. Surya,2003).
Jadi dapat disimpulkan bahwa wibawa guru yang nampak bukanlah seperti uap air, tetapi kewibawaan yang lahir dari dalam diri yang tulus dan ikhlas yang bermanfaat sebagai fondasi dalam mencapai tujuan pendidikan Nasional, seperti yang tertuang dalam UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Akhirnya, jangan biarkan kewibawaan guru dipandang sebelah mata, saatnya guru harus bangkit membangun diri, meningkatkan profesinalisme karena keberadaan guru merupakan eksistensi yang survive. Semoga.*
No comments:
Post a Comment
Kami sangat menghargai pendapat Anda namun untuk kebaikan bersama mohon berkomentarlah dengan sopan!