Happy Independence Day, Mom! Salam hormat untuk Ibuku. Ibu,... aku selalu berharap jiwa dan ragamu terus hidup agar dari generasi ke generasi mereka bisa merasakan peluk kasih nan dalam darimu. Tapi maaf seribu maaf. Kali ini aku tak memberikan hadiah istimewah buatmu. Bukan perak apalagi emas. Hadiahku hanyalah bunga-bunga kertas ungu ini.
Ibu, bukankah negeri ini negeri pelangi? Negeri yang memiliki potensi dan keragamannya. Ironinya kita jauh dari raihan aspek-aspek yang prestisius. Sayang nian, pelangi di atas langit nusantara selalu ditutupi awan kelabu, ibu.
Aku tak perlu basa-basi. Merdeka bagiku adalah usaha untuk memerdekakan sesama (anak bangsa). Untuk mewujudkan kemerdekaan yang sejati itu dibutuhkan aksi nyata. Dan tak selamanya kita terus berteori dan berkata-kata. Saat ini kita harus kerja. Seperti kata Bang Wi (Jokowi): pokoknya saya mau kerja- nggak mikirin yang lain. Tentunya bekerja sesuai dengan koridor yang ada. Dan membangun negeri ini sudah ada konsep yang jelas. Tinggal dibutuhkan niat, keberanian serta terobosan.
Baca Juga : Kisah Seorang Tentara Dalam Sebuah Peperangan Dan Jaring Laba-Laba
Tapi sulit jikalau rakyatnya bermental HG (harap gampang) tidak mau bekerja dan merindukan pemimpin bagai Sinterklas, datang lalu bagi-bagi hadiah. Problematika lainnya mentalitas para elitisnya yang tidak pernah puas dengan apa yang dimiliki mereka. Hal ini bisa menjadi kekuatiran. Saya boleh katakan ketiadaan rasa syukur dan ketidakpuasan menyebabkan orang menjadi serakah. Kuatirnya lagi ketika keserakahan merajalela kita tinggal menunggu bom waktu untuk kematian nurani.
Persoalan bangsa dan negara sebesar Indonesia sangatlah kompleks. Pilihan Pancasila sebagai ideologi bangsa adalah tepat dan taktergantikan. Kalau ada keinginan sekelompok orang untuk menggantikan ideolagi adalah mereka-mereka yang ingin menuai badai, yang cinta kekacauan, yang ingin memancing di air keruh. Persoalan yang dihadapi bangsa ini bukannya gagalnya sistem, melainkan gagalnya individu-individu yang gagal mengekang syahwatnya. Sehingga KKN merajalela. Pada titik ini dibutuhkan pemimpin berkualitas. Aku merindukan pemimpin yang berani berkorban, bekerja banting tulang, berjuang tanpa pamrih untuk bangsanya. Sosok-sosok itu lekat pada Soekarno, Hatta, Sjahrir-bapak bangsa yang dilupakan. Atau santo sekuler Nelson Mandela. Ia berani menghapuskan faham apartheid namun dengan penuh cinta, mengajak damai orang-orang kulit putih tanpa diskriminasi menjadi warga negara Afrika Selatan. Kini negaraku ditengarai mengalami krisis kepemimpinan. Rakyat galau.
Ah mungkin aku terlalu serius menulis. Karena saking seriusnya tadi aku hampir lupa, kalau hari ini HUT RI ke-68. Sekarang harus nyante adjah dan mengikuti style masa kini, pokoknya ngetrend,atau ngegaul-lah dalam bahasa dan gaya.
Baca Juga : Cerita Hidup Toleransi Dari Manggarai (Flores) Sampai Ke Kaliuda (Sumba) Ternyata Cukup Sederhana
Memperingati kemerdekaan, kita berusaha tengggelam dalam euforia kemerdekaan pada 68 tahun silam. Kemerdekaan yang diproklamirkan pada saat itu, kita ingin menyatakan kemerdekaan secara politik, dan ingin pula diakui secara politis atas kedaulatan wilayah NKRI. Jadi gempitanya luar biasa. Dan ekspresi emosianalnya meledak-ledak. Sekali merdeka tetap merdeka. Merdeka atau mati? Kira-kira itulah kata-kata “mantra” yang melingkupi hati sanubari almarhum-almarhumah opa/oma kita dulu. Mereka ingin kemerdekaan itu dipertahankan hingga kiamat tiba.
Seiring berjalannya waktu dinamika dalam tatanan kebangsaan berubah. Semangat kebangsaan mengendur. Yang lebih nampak kini adalah eklusivisme kedaerahan makin menonjol. Padahal sentuhan edukasi historis sudah melintasi jarak antar ruang wilayah. Sehingga kesadaran sebagai bangsa, berbahasa, dan bertanah air satu Indonesia telah menjadi harga mati. Tapi apa yang diharapkan dari proses itu jauh panggang dari api. Dalam sebuah diskusi ringan dengan teman ia katakan, “banyak diantara kita yang terhegemoni dengan bangunan primordialisme”. Primordial atau primordialisme bisa membawa orang pada kubangan fanatisme. Kata orang, fanatik itu boleh asal jangan tenggelam dalam fanatisme hasilnya akan menjadi manusia yang berpikiran kerdil.
Kita telah hidup di alam merdeka saat ini. Meminjam bahasanya Yudi Latif, kita bangun elan kreatifias untuk menyemai rasa kebangsaan. Kaum muda harus sadar akan diri dan potensinya. Kaum muda yang kurang sadar dan lupa dengan kaumnya terma dari Indra Jaya Piliang cocok pada Anda yakni kaum muda tanpa kaum. He3x sorry bro’!
Jadi kita harus mengisi kemerdekaan dengan aksi-aksi yang positif. Jangan selalu ngeyel pada negaramu, daerahmu! Jadi teringat pada opaku (PedE ) J. F Kennedy, katanya begini, “jangan tanya lagi apa yang negara buat untuk dirimu, seharusnya kita bertanya pada diri kita, apa yang bisa kita buat untuk negara kita ini? Sebagai guru tentunya aku harus banyak belajar, mengembangkan profesionalisme diri biar bisa didik anak bangsa dengan ilmu pengetahuan yang mumpuni-coz knowledge is power.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 duo proklamator mengumandangkan kemerdekaan. Jadi sudah 68 tahun kita merdeka. Tapi kenapa orang masih banyak yang protes. Padahal waktu 68 tahun itu, ibarat manusia bukan usia ABG lagi yang masih mencari jati dirinya. Inikan usia orang yang sudah punya cucu. Mereka yang protes mengatakan; kita belum merdeka seutuhnya, kita belum merdeka secara ekonomi, hukum, politik, dan kemerdekaan mendapatkan pekerjaan. Dan adalagi yang memprotes kenapa hak intelektual anak negeri di negara ini belum sepenuhnya diapresiasi?
Memerdekakan kemerdekaaan di negara ini jangan sampai kebablasan. Seyogyanya jauh dari sikap permusuhan dan anarkisme. Jangan hanya karena kesenggol saja, langsung ambil pentungan (kayu kudung), batu lantas nimpuk orang lain lalu membentangkan atau mengibarkan simbol-simbol tertentu demi membenarkan aksinya. Kata anak gaul Kupang, lu pung aksi sonde cerdas bro'. Kenapa tidak boleh demikian?-KITA semua ANAK BANGSA Bung!- 100% Indonesia.
Baca Juga : Upah Sebuah Kebaikan
Aku juga terenyuh, ketika menonton aksi panjat pinang. Kenapa begitu? Saya seolah-olah merasa jangan sampai di tanah air tercinta ini untuk mendapat "hadiah" kita harus saling injak-injakan, berebutan, berdarah-darah, baru bisa raih hadiahnya. Kalau kita pakai cara cerdas kita pakai tangga saja toh? Atau pakai tali. Bagi diriku baik tangga maupun tali adalah tahapan-tahapan (proses) untuk meraih tujuan.
Jadi anak bangsa yang bisaa kita lakukan saat ini kita isi waktu dengan bekerja keras. Apapun profesi kita. Entah Anda sebagai anggota TNI, anggota Polri, guru, pegawai kantoran, usahawan, pemuka agama, pebisnis, olahragawan dan lain-lain kita bekerja dengan cara kita masing-masing. Anda, diriku, kita semua bekerja untuk kemajuan dan kemaslahatan bangsa dan negara republik Indonesia. Kata Bung Karno, “bangsa yang besar adalah bangsa yang mau menghargai jasa para pahlawannya”. Ingat Soekarno ingat Jas Merah. DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA KE-68. MERDEKA!
No comments:
Post a Comment
Kami sangat menghargai pendapat Anda namun untuk kebaikan bersama mohon berkomentarlah dengan sopan!