Ini sebuah kisah yang bersumber dari curahan hati (curhat) seorang ibu muda yang jatuh cinta dengan pastornya.
Aku seorang ibu muda yang aktif di gereja. Karena aktivitas pelayanan ini, mau tidak mau aku harus bertemu dan berinteraksi dengan seorang imam, Pastor, Romo, Pater, Padre, Father atau entah apapun sebutannya.
Masih muda, energik dan bersemangat dalam pelayanan, menjadikannya idola banyak orang. Ia terlibat dalam berbagai kegiatan kategorial sehingga begitu dikenal dan disayangi umat. Berkepribadian menarik, lembut tutur kata, penuh perhatian, baik, cerdas, dan ganteng adalah sederet kualitas diri yang ia miliki. Tentu sebagai manusia, ia punya kekurangan.
Baca Juga : Bertemu Tuhan
Demi kelancaran komunikasi dan koordinasi pelayanan, aku mendapatkan nomor hp, berteman di facebook dan lainnya. Namun komunikasi dan interaksi kami lakukan sebatas pelayanan. Aku semakin bersemangat dalam pelayanan karena kehadirannya seolah-olah menjadi sebuah magnet tersendiri.
Sebagai satu dari sekian ribu umat, aku bangga bisa dekat dengan pastor yang menjadi idola hampir sebagian umat ini. Sepertinya Tuhan sedang menghibur kaumku dengan kehadirannya. Aku adalah salah satu yang merasakan hal itu.
Aku sudah menikah dan punya anak. Sementara ia lebih muda dariku. Dia tak pernah memiliki pacar sebelum masuk seminari. Maka untuk urusan itu, dia masih perjaka ting-ting. Kadang aku heran, kok bisa-bisanya memilih untuk tidak menikah padahal kurang apa toh dia. Tapi itulah daya tarik seorang imam.
Sejak kedekatan dengannya, aku sadar bahwa di antara kami terdapat perbedaan yang besar. Tetapi perbedaan itu justru membuat kami saling menghargai. Aku menghargai dia sebagai seorang imam dan dia menghargaiku sebagai seorang ibu yang punya suami dan anak-anak. Hubungan kami menjadi sebuah pertemanan antara seorang imam dan umat.
Saat hubungan kami sebatas pertemanan imam-umat, tidak ada gossip. Tetapi, aku tidak bisa menyembunyikan perasaan yang semakin bertumbuh dalam diriku. Setiap hari aku selalu mengirim sms hanya sekedar menanyai kabar dan ia membalasnya dengan ramah. Kadang aku mengantar makanan kesukaannya ke pastoran. Sebelum tidur malam, sejenak kubayangkan wajahnya.
Anehnya, aku menjadi mudah cemburu ketika ada perempuan lain dekat dengannya. Ya, aku tak bisa menyangkal bahwa aku sedang jatuh cinta dengannya, meski aku tahu itu cinta terlarang.
Baca Juga : Kisah Seorang Tentara Dalam Sebuah Peperangan Dan Jaring Laba-Laba
Aku menjadi semakin dekat secara emosional dan fisik. Ada saja alasan bagiku untuk pergi ke pastoran sekadar melihatnya. Kadang aku mengajaknya untuk makan di restoran, kala ia punya waktu luang. Ketika berada dekatnya, aku merasa nyaman, bahkan lebih nyaman dari pada berada di samping suamiku.
Dari awal, sudah kukatakan kepadanya bahwa aku punya keluarga, suami dan anak-anak. Dia tahu itu. Dia juga berulangkali mengatakan bahwa perjuangan menjadi seorang imam itu tidak mudah. Maka ia tidak semudah membalikan telapak tangan untuk meninggalkan imamatnya. Ia mencintai imamat, panggilan dan semua umat.
Tetapi intensitas pertemuan yang meningkat tidak bisa menahan gejolak rasa yang mulai bersemi. Maka, aku berniat untuk mengungkapkan cintaku padanya. Sudah lama aku mencari waktu untuk ‘menembak’nya tapi aku takut salah sasaran.
Suatu saat, aku nekad, kalau ia tidak menerima cintaku biarlah aku mundur perlahan-lahan. Aku siap dengan segala konsekwensi. Apapun itu. Malu sebenarnya aku, sudah emak-emak mau nembak daun muda.
Gayung bersambut. Ternyata ia juga menyimpan sebuah rasa. Ciiieee. Pikirku, ya, cinta memang tidak buta. Tetapi cinta bisa membutakan orang. Aku merasa seperti berada di atas awan. Tak kubayangkan, seorang pemuda yang menjadi idola dari hampir semua umat akhirnya takluk dengan emak-emak seperti aku ini.
Eh, sabar dulu! Ternyata aku ke-pede-an.
Seperti kubilang di atas, dia mencintai panggilannya dan tak ingin meninggalkan imamatnya. Dengan mengungkapkan cintanya, ia mau mengatakan bahwa ia juga manusia yang punya hati dan perasaan. Pada saat yang sama ia adalah manusia yang telah dipanggil untuk tugas mulia. Dan dia tidak ingin membiarkan perasaan ini tumbuh terus.
Maka kami mulai berpikir akan resiko jika kami membiarkan perasaan kami berkembang. Kami mencoba secara baik-baik untuk saling melupakan satu sama lain. Tanpa ada perkelahian, kami berjanji untuk memutus hubungan, karena gossip semakin berkembang. Aku akui itu. Perlahan-lahan kami mengurangi frekwensi komunikasi dan pertemuan empat mata.
Baca Juga : Mengenal Lebih Dekat Suster Elisabeth Sutedja Lulusan Terbaik Harvard University Yang Memilih Hidup Membiara
Kupikir, dia bisa melewati semua itu. Tapi aku? Jujur, aku tak bisa. Aku tak rela ada jarak di antara kami. Aku telah terperangkap dalam cinta terlarang dan aku hanya bisa berharap dari kepekaannya.
Waktu kucoba menghubunginya, alangkah kagetnya aku, karena nomor hp nya telah ia ganti. Aku nekat mencari nomornya. Tidak sulit mendapatkan nomor hp imam idola seperti dia. Namun, setiap kali aku sms atau telpon tak ada balasan dan tanggapan. Hatiku semakin hancur, kenapa aku harus jatuh cinta dengan orang yang jelas-jelas tidak bisa kumiliki dan sekarang ia tak peduli lagi denganku.
Suatu pagi, aku memaksakan diri untuk bertemu dengannya setelah misa. Di kamar tamu pastoran, kami bicara tentang perasaan. Dia mengatakan, ‘Aku mencintai imamatku dan aku mencintai keluargamu. Kita tidak boleh membiarkan perasaan ini semakin menguasai logika dan hati kita karena kita akan sulit berpikir logis ketika cinta seperti ini sudah menjalar di hati.’
Permintaannya yang paling menakutkanku adalah kami tidak boleh saling bicara dan kontak untuk beberapa waktu agar perasaan yang sudah tumbuh bisa layu dan hilang. Aku seperti orang gila. Setega itukah dia. Tidak tahukah dia bahwa aku begitu mencintainya, sementara dia dengan entengnya mengatakan hal itu.
Aku mencoba untuk membenci dia. Tetapi tidak ada alasan untuk membencinya. Setiap kali aku berpikir untuk itu, semakin aku mencintainya. Tuhan tolong! Kenapa cinta ini sungguh membuat aku gila dan tidak berpikir logis lagi. Sampai kapan aku bertahan dalam rasa yang selalu menyiksa, sementara dia dengan santai bebasnya membagikan cinta-Mu kepada orang lain? Aku tidak bisa melepaskan diri dari cintanya karena aku telah terperangkap oleh magnetnya.
Tak ada kontak! Tak ada komunikasi! Tak ada pertemuan empat mata! Tak ada antar makanan atau kirim pulsa! Tak ada makan-makan!
Tidak berselang, beredar kabar bahwa uskup akan memindahkan imam muda ini ke paroki lain. Seluruh umat begitu kaget dan hampir setiap orang menangis mendengar kabar ini. Dewan Paroki sibuk membuat surat permohonan kepada uskup untuk tidak memindahkan imam kesayangan umat ini. Namun, apapun usaha umat, imam adalah milik semua umat, bukan hanya satu paroki saja.
Aku? Jujur! Dari hati terdalam, aku tak rela ia pindah secepat ini dan kalau boleh memilih selamanya ia bertugas di parokiku.
Hatiku hancur kala membayangkan saat-saat ia berada di paroki lain dan dekat dengan perempuan lain. Ya, ia memiliki segalanya untuk menghipnotis perempuan manapun. Banyak perempuan dan ibu-ibu berpengalaman yang bisa meluluhkan ketahanannya. Aku takut! Tapi aku tak punya kuasa untuk menahannya.
Pada hari sebelum kepergiannya dari paroki, aku meminta waktu tiga puluh menit. Ia mau bertemu denganku. Ia katakan bahwa ia akan pindah tugas dan aku harus mendukung panggilannya. ‘Jika kamu mencintaiku, lepaskan dan dukunglah aku dalam jalan imamat ini. Cinta memang tidak harus memiliki. Cinta berarti melepaskan dan merelakan.’ Busyeeet… tuingg.
Baca Juga : Setangkai Bunga Rumput
Tangisku memecah sejadi-jadinya. Hati siapa yang takan hancur bila cinta yang indah jadi begini. Aku tak peduli orang banyak yang melihat kami dari luar karena pikirku, kapan lagi aku bisa sedekat ini. Aku menangis seperti seorang anak kecil merengek-rengek meminta permen dari ibunya.
Cinta membuat aku menangis. Sungguh menyakitkan, aku yang telah mencintainya dan kini harus melepaskannya untuk pergi membagikan cintanya kepada banyak orang.
Aku bisa merasa mungkin Tuhan juga sedang menangis bersama kami, tetapi pada saat yang sama, Tuhan memberkati kami. Itulah cara Tuhan untuk menunjukkan kepada kami bahwa Ia juga merasakan penderitaan dan kesakitan hati manusia. Karena Tuhan menghadiahkan cinta kepada setiap orang. Namun Tuhan menjamin masa depan dan punya cara untuk menyembuhkan sakit atau pengorbanan hari ini. Ya, aku harus merelakan dan melepaskan imamku, meski aku sangat mencintainya.
Aku merindukan imamku. Aku tahu ada tujuan yang lebih mulia yang ia emban dan aku tak berhak mengambil hal termulia itu. Tuhan telah memilih dia dan meletakan padanya pelayanan untuk banyak orang. Cintaku tak sebanding dengan cinta Tuhan baginya. Aku hanya percaya bahwa Tuhan akan menjaga, membimbing dan menuntun imamku yang tercinta ini.
Aku tak tahu kapan rasa sakit ini akan sembuh dan bagaimana aku bisa menyembuhkannya. Aku mati rasa ketika ia meninggalkanku. Sekalipun aku mencoba untuk berlaku normal, tetapi kepingan hatiku terdalam tak ada di sana lagi. Aku mencoba bangkit, menemukan kepingan yang telah hilang. Dan aku sadar kepingan itu ada di keluargaku, di suami dan anak-anakku.
Baca Juga : Cinta Saja Tidak Cukup
Aku masih terus berdoa untuk kebahagiaan imamku. Aku berdoa Tuhan merangkulnya setiap tidur malam dan menemaninya kala ia sendiri. Aku berharap Tuhan menyediakan cinta dan perhatian untuknya sebagaimana anganku tiap siang dan malam.
Imamku, pastorku, romoku, paterku, fatherku, padreku, aku mencintaimu tapi aku harus melepaskan dan merelakanmu untuk pergi ke mana saja sejauh Tuhan mengutusmu, karena engkau ditahbiskan untuk seluruh umat.
Kini aku sadar, aku mencintainya karena ia adalah seorang imam.*
Penulis : MYB
No comments:
Post a Comment
Kami sangat menghargai pendapat Anda namun untuk kebaikan bersama mohon berkomentarlah dengan sopan!