Kerinduan itu beragam. Kerinduan itu tercipta karena dimensi ruang dan waktu. Nona Alenna mungkin mengungkapkan kerinduan itu karena jarak. Sang pelukis alam rindu karena kehilangan keindahan alam lantaran direnggut oleh cakar-cakar besi itu. Siapakah yang tak pernah disiksa oleh kerinduan?
Penjahat kelas kakap pun sesekali merindukan pertobatan. Sang anak yang durhaka pun rindu pada ibunya. Apalagi mereka yang sedang dimabuk asmara? Kerinduan itu tak tertahankan. Si kupu-kupu malam pun rindu dicintai walau ia sadar nasib dirinya. Seperti telaga merindukan ikan dan teratai.
Baca Juga : Gadis-Gadis Pantai
Jika begitu, maka kerinduan adalah sahabat bagi yang diberi nafas. Sahabat bagi yang hidup. Kerinduan adalah kerinduan. Seperti yang sepuh kerap merindukan kematian. Jika tidak ada kerinduan dalam dirinya, dia hanya sebongkah batu keabadian. Dia sudah mati.
Dibelenggu kerinduan itu bukan beban. Itu sebagai bagian dari keindahan. Kerinduan mungkin mampu menebalkan rasa dan menggunungkan cinta. Pahamlah itu. Itu bagi mereka yang sedang dipisahkan oleh jarak. Kerinduan itu mesti dipertemukan. Rindu yang membara kadang membakar asmara. Rindu yang tertahan bekin galau dan merana.
Baca Juga : Setangkai Bunga Rumput
Kamu memang jauh disana. Karena kerinduan ini kamu hanya sebatas jarak. Tapi dekat di hati. Itu kata teman yang sedang dilanda asmara.
Penulis alam selalu menuangkan rasa rindu dalam catatan-catatan lepasnya. Tentang perjuangan, hidup dan anugerah. Namun kerinduan tentang cinta menjadi hidup jadi indah dan bermakna. Suatu hari ia berkata, "kita harus menciptakan sejarah sendiri." Lebih indah menciptakan sejarah tentang kau, aku dan dia. Ingatlah itu pada suatu masa. Sebuah kerinduan itu.
Jejak-jejak kerinduan masih membekas yang terukir di sepanjang jalan kenangan itu. Masa itu yang mencekam. Kegetiran sempat menghantuimu. Namun saat itu malaikat itu sudah bersama sang penulis alam. Dan dia yang selamanya. Namun, kau selir yang dirindu dalam kerinduan. Entah sampai kapan….?
Baca Juga : Sejoli Di Bukit Savana
Jangankan melupakan engkau sedetik pun tak sudi. Ini soal kerinduan. Walaupun dirundung prahara tapi badai berkat akan menggulung semua angkara murka itu. Itulah seni melukis kehidupan. Seperti katamu tempo hari. "Manusia harus menciptakan sejarahnya sendiri."
Atas nama kerinduan tertulis syair ini. Bukan seorang pujangga yang pandai merangkai kata. Namun dia hanya penulis alam. Ya, disepanjang jalan kenangan itu.*
No comments:
Post a Comment
Kami sangat menghargai pendapat Anda namun untuk kebaikan bersama mohon berkomentarlah dengan sopan!