Apakah politik itu kotor sehingga para Pastor tidak terlibat di dalamnya? Atau memang para Pastor itu ‘alergi’ dengan segala yang berbau politik? Pertanyaan yang menarik simak yuk penjelasannya!
Kata siapa, Bung? Politik itu tidak kotor tapi politik itu seni. Kok politik itu seni? Apa maksudnya?
Kita lihat dulu definisinya. Menurut Aristoteles, seorang filsuf Yunani, politik (polis : kota) dipahami sebagai tata cara mengelola kota (negara) untuk kesejahteraan bersama seluruh warga. Politik merupakan seni mengelola kekuasaan dengan konstitusi (politeia) demi kesejahteraan bersama (bonum commune).
Baca Juga : Sabda Bahagia Iblis
Sayangnya dalam prakteknya politik lebih cenderung dialami sebagai perebutan kekuasaan dengan menghalalkan segala macam cara. Itulah yang membuat politik itu dipandang kotor. Namun demikian prakteknya tetap berpandangan bahwa politik adalah seni.
Nah kalau memang politik itu seni jadi kenapa para Pastor tidak terlibat di dalamnya?
Dengar ya Gereja Katolik bersifat hirarkis. Setiap struktur memiliki peran dan wewenang masing-masing. Dalam bidang politik, ada pembedaan antara politik etis dan politik praktis. Kaum hirarkis (Paus, Uskup, Imam, Diakon) dan biarawan-biarawati bergerak dalam level politik etis dan tidak dalam politik praktis. Sedangkan kaum awam, yang merupakan mayoritas dalam Gereja, bergerak dalam politik praktis. Gereja mendukung awam yang berkecimpung dalam politik praktis.
Baca Juga : Bolehkah Orang Katolik Pergi Ke Dukun Atau Ke Paranormal?
Wow… makin menarik kan? Anyway, kenapa para uskup, imam, serta biarawan-biarawati tidak terlibat dalam politik praktis?
Politik praktis dipahami sebagai keterlibatan langsung dalam menduduki posisi legislatif, yudikatif, eksekutif, atau dalam sebuah partai politik atau gerakan politik tertentu. Kalaupun seorang imam Katolik (pastor) terpaksa menduduki jabatan politis tertentu, maka ia harus terlebih dahulu mendapatkan izin resmi dari Roma.
Baca Juga : Bagaimana Kita Menyikapi Pengalaman Orang Yang Mati Suri?
Kitab Hukum Kanonik sudah mengaturnya. Dalam Kanon 287, dikatakan bahwa para klerus tidak diperbolehkan ‘ambil bagian aktif dalam partai politik.’ Hal ini demi menjaga objektivitas dan netralitas pelayanan gerejawi. Para uskup, imam dan bahkan kaum biarawan-biarawati merupakan simbol dan kekuatan yang mempersatukan umat katolik. Jadi, kalau kelompok ini terlibat dalam politik praktis atau gerakan politik tertentu, maka bisa berpotensi untuk memecah-belah umat sendiri. Misalnya pada suatu ketika karena demi menjaga tuntutan partai atau pendukungnya dan harus berseberangan dengan umat beriman Katolik lainnya, kredibilitas sebagai simbol dan kekuatan sebagai pemersatu dan pemimpin umat akan jatuh atau semakin lemah. Oleh karena itu, pimpinan Gereja tidak boleh terlibat dalam politik praktis.
Terus, apa maksud politik etis bagi para hirarkis?
Baca Juga : Apakah Perselingkuhan Dan KDRT Bisa Menjadi Alasan Untuk Pasangan Suami Istri Katolik Bercerai?
Sebagai seni mengatur kekuasaan untuk mencapai kesejahteraan bersama, kaum hirarkis memainkan peran politik etis. Hal ini dipahami sebagai upaya menyuarakan suara kenabian dan membangun dialog bersama kaum awam dan masyarakat tentang realitas politik dalam kaitan dengan ajaran iman dan moral Gereja. Hal itu dilakukan lewat usaha menghimpun dan memberi pendampingan iman, ilmu dan pembentukan karakter kristiani kepada awam supaya menjadi ‘terang dan garam dunia’ melalui bidang politik praktis yang dijalani.
Demikian penjelasan singkat mengapa para pastor (imam katolik) "dilarang" terlibat politik praktis. Namun tetap memainkan peran dalam politik etis untuk pembentukan karakter kristiani untuk menjadi garam dan terang dunia.*
Penulis: MYB
Catatan : Tulisan ini sudah diedit sesuai kebutuhan blog.
Baca Juga : Perkawinan Rahasia
No comments:
Post a Comment
Kami sangat menghargai pendapat Anda namun untuk kebaikan bersama mohon berkomentarlah dengan sopan!