Ini adalah artikel lama yang admin tulis pada tanggal 31 Januari 2017 ketika atau setelah mengikuti kegiatan pembukaan Gerakan Penumbuhan Budaya Membaca di SMA Negeri 2 Waingapu. Bagi saya kegiatan tersebut kegiatan yang menebarkan asa dan berdampak produktif dalam pengembangan sumberdaya manusia terutama di Sumba Timur. Bayangkan jika setiap individu apalagi anak-anak usia sekolah membaca tiga jam sehari itu membuat mereka cerdas, berilmu, produktif dan inovatif hari ini dan di waktu yang akan datang.
Namun sayang kegiatan ini yang didengungkan oleh mantan Bupati Sumba Timur Bapak Gideon Mbilijora belum greget dilakukan oleh setiap sekolah. Apalagi masif dan sistematis. Ini diperlukan itikad baik dan komitmen dari setiap sekolah dan anggaran dari pemerintah.
Berikut artikel yang saya tulis di awal tahun 2017 dengan judul, "Budaya Literasi, Bukan Sekedar Gerakan Tapi Revolusi". Silahkan dibaca!
Bupati Sumba Timur Drs Gidion Mbilijora M.Si kemarin siang (Senin, 30/1) telah menabuh Gong Gerakan Penumbuhan Budaya Membaca di SMA Negeri 2 Waingapu. SMA Negeri 2 Waingapu dipilih sebagai pioner dari gerakan keberaksaraan ini lantaran sekolah tersebut telah aktif di dunia literasi dalam beberapa tahun terakhir. Selain itu, dua orang gurunya sudah dikirim untuk mengikuti pelatihan yang diselenggarakan Kemdikbud bulan Agustus tahun 2016 lalu.
Dalam sambutannya, Bupati Sumba Timur mengungkapkan komitmennya bahwa melalui SKPD terkait nanti akan mendukung program gerakan literasi ini karena menurutnya budaya literasi akan bermanfaat dalam pembangunan sumberdaya manusia di Sumba Timur kelak.
Revolusi seperti apa untuk membudayakan literasi?
Literasi adalah keberaksaraan, yaitu kemampuan menulis dan membaca. Budaya literasi dimaksudkan untuk melakukan kebiasaan berfikir yang diikuti oleh sebuah proses membaca, menulis yang pada akhirnya apa yang dilakukan dalam sebuah proses kegiatan tersebut akan menciptakan karya.
Jadi jelas, bahwa membaca dan menulis adalah bagian yang tak terpisahkan dari aktivitas keberaksaraan. Jika Anda pengen menulis artinya Anda harus membaca. Karena menulis dalam konteks menciptakan karya adalah mengartikulasikan gagasan-gagasan yang ada di dalam kepala kita. Sehingga untuk menentukan kualitas sebuah karya Anda tergantung sejauh mana Anda membaca dan memahami konsep ilmiah yang Anda baca.
Kembali Kepada Budaya Membaca
Dalam konteks global, orang Indonesia mengalami masalah dengan kebiasaan membaca. Dari penelitian yang dilakukan oleh UNESCO rata-rata orang Indonesia menghabiskan empat judul buku setahun atau di bawah standar tidak seperti apa yang sudah ditetapkan oleh UNESCO tujuh judul buku. Masih terkait Indeks membaca, dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh UNESCO dari 65 negara Indonesia berada di urutan ke 60 dalam urusan minat baca.
Nah, kita tak perlu sedih dengan angka-angka itu. Kita perlu sebuah revolusi untuk urusan ini. Ya, revolusi mental. Dari malas dipaksa untuk rajin membaca.
Kita juga bisa mengadopsi prinsip orang Jepang bahwa membaca itu seperti urusan bernapas. Bahwa di setiap hembusan nafas di situ aktivitas membaca ada. Budaya membaca yang sudah mengurat dan mengakar menjadikan Jepang sebagai salah satu negara yang dilabeli macan Asia.
Revolusi budaya literasi harus dimulai dari rumah-rumah. Jam-jam produktif (17.00 - 19.00) tivi-tivi harus bebas dari hadapan anak. Anak-anak diwajibkan membaca. Anak-anak balitapun sudah diperkenalkan buku cerita komik. Tentu komik-komik yang edukatif.
Di tengah masyarakat perlu ada basis-basis masyarakat yang menggerakan budaya literasi. Dengan membentuk pojok-pojok baca. Sebuah revolusi tidak selalu sepenuhnya dibebankan kepada pemerintah tapi butuh gerakan masif dari masyarakat itu sendiri. Masyarakat harus bahu membahu melakukan pengadaan buku-buku untuk diserahkan pada setiap sudut atau pojok bacaan yang dibentuk oleh basis-basis masyarakat tersebut. Kalau mau yang lebih besar membentuk koalisi masyarakat gemar literasi.
Satuan pendidikan juga perlu membangun tradisi baru, setingkat anak SD wajib membaca sepuluh buku (10 judul buku), siswa SMP membaca 15 buku, minimal siswa SMA/SMK membaca 25 buah dan mahasiswa di atas 40 judul buku. Ini hukumnya wajib. Setiap alumni wajib hukumnya menyumbangkan buku. Minimal 5 buah buku untuk disimpan di ruang perpustakaan.
Untuk para guru dan dosen di wajibkan menulis karya ilmiah atau membuat penelitian ilmiah sesuai bidang keahliannya. Setiap semester akan diminta pertanggungjawabannya terkait penelitian ilmiah itu.
Oleh karena itu, pemerintah perlu menyiapkan perpustakaan plus dengan berbagai jenis dan judul buku. Guru dan dosen perlu ada uang buku atau disubsidi berbagai jenis buku. Toko-toko perlu memberikan diskon khusus harga buku kepada guru dan dosen.
Selain itu, instansi pemerintah juga menyiapkan pojok baca bagi tamu atau pegawai pemerintah. Sekolah-sekolah dan kampus-kampus berlangganan koran, majalah, atau buletin. Sekolah dan kampus juga perlu ada majalah sekolah atau majalah kampus.
Terakhir untuk mewujudkan ini tentu dibutuhkan Komite Pengawas Gong Literasi. Dengan ultimatum bahwa setiap orang wajib meluangkan waktunya untuk membaca paling sedikit 3 (tiga) jam sehari. Ini butuh gerakan revolusi membaca.*
Baca Juga :
- Pendidikan Membuat Kita Setara
- Menumbuhkan Jiwa Wirausaha Pada Siswa SMK Negeri 3 Pahunga Lodu
- SMK, Kreativitas, Entrepreneurship Dan Perlu Money Oriented!
- Pendidikan Itu Mahal
- Pendidikan Sebagai, "The Way Of Life"
No comments:
Post a Comment
Kami sangat menghargai pendapat Anda namun untuk kebaikan bersama mohon berkomentarlah dengan sopan!