Wajahnya menggambarkan kesabaran. Ia masih muda dan ayu tapi aura keibuannya tak mampu ia sembunyikan dari pandangan orang. Laki-laki lugu seperti saya tetap saja ia tak sanggup bohongi. Ia sudah menjadi seorang ibu. Ia memiliki seorang anak sebelum saatnya tiba.
Seperti perempuan pada umumnya mereka menjadi objek utama dari sebuah "musibah" itu. Mereka disalahkan, mereka dihina, bahkan dicaci dan dimaki lalu sebagian diantaranya ditelantarkan.
Si laki-laki itu bebas. Ia bisa saja berlari tanpa memikul beban dan noda hitam yang terus membekas.
Baca Juga : Setangkai Bunga Rumput
Sering keadilan hanya milik orang kuat. Kesalahan hanya menjadi bagian orang lemah, kecil dan miskin. Itulah keadilan menurut standar manusia. Seperti bidadari malang tadi, ketika hasrat cinta disatukan, benih cinta yang ada hanya menjadi bagian dari mereka yang lemah. Mereka akan menjadi bagian dari hukuman sosial di tengah masyarakat.
Apakah ketika benih cinta itu ada ia harus "dimusnahkan" demi sebuah harga diri? Atau pemilik rahim itu terus "dihukum"?
Baca Juga : Setangkai Bunga Rumput Untukmu
Siapa saja yang tak pernah berbuat dosa dialah orang pertama yang melempari gadis itu dengan batu!
Bidadari itu terus menderita oleh cinta semu dari pria pengecut. Siapa saja pria yang pergi tanpa beban dan tanggung jawab dia layak dilabeli pengecut. Akhirnya perempuan itu bak bidadari yang terluka.
Tapi Tuhan memiliki hak prerogatif. Menentukan keadilan yang seadil-adilnya. Dia yang empunya segala galanya.
Baca Juga : Jalan Panjang Sang Pangeran
Cinta akan mencari cinta dan menemukan cinta.
Bidadari tetaplah bidadari walau ia terluka. Bila saatnya tiba bidadari (kamu) akan menemukan seseorang yang tepat dan menerima keberadaanmu apa adanya. Saat ini kamu bidadari yang terluka bila waktunya engkau dimuliakan.*
No comments:
Post a Comment
Kami sangat menghargai pendapat Anda namun untuk kebaikan bersama mohon berkomentarlah dengan sopan!