Aku bangga menjadi guru. Tentunya, menjadi guru di republik ini. Dan rasa bangga itu perlu merajai jiwa-sanubari guru-guru Indonesia. Siapa lagi, kalau bukan kita yang merasakannya? Ataukah kapan lagi, kalau bukan sekarang? Ayo! Dengan lantang kita serukan “aku bangga menjadi guru” entah dari mana saja kamu di wilayah NKRI ini.
Kebanggaan ini tak serta merta kita dengungkan. Berdasarkan realitas dan faktual, bahkan secara empirispun membuktikan bahwa tidak semua orang bisa menjadi guru. Sebab, menjadi guru memiliki tingkat kompleksitasnya tersendiri. Sosok guru bukanlah robot-robot hidup. Melainkan sosok dan pribadi yang memiliki kecakapan komplit. Sekaligus ia menjadi tauladan dan inspirator bagi anak didiknya.
Baca Juga : Wibawa Guru
Predikat sebagai guru tak lekang oleh waktu. Kapan saja Anda senantiasa di sapa dengan “guru”. Sematan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa adalah gelar sepanjang hayat. Namun demikian pada sisi lain, guru adalah pelita di tengah kegelapan. Guru laksana embun penyejuk. Itulah sedikit kutiban dari penggalan syair dalam hymne guru.
Kata guru berasal dari bahasa Sanskerta yaitu orang yang dihormati karena memiliki pengetahuan yang luas, kebijaksanaan dan otoritas tertentu, dan menggunakan apa yang dimilikinya itu untuk menuntun orang lain. Dari apa yang tersurat atau tersirat ini pekerjaan guru bukanlah pekerjaan mudah. Ia harus bisa mengelaborasikan semua potensi diri untuk menuntun orang lain.
Jadi, pekerjaan guru bukan sekedar mengajar. Melainkan lebih dari itu, bukan? Tugas guru adalah mendidik, membina dan melatih mereka. Dengan harapan bahwa siapa saja yang memperoleh pendidikan itu memberi faedah bagi dirinya sendiri dan orang lain.
Baca Juga : Tuntutan Pendidikan Kekinian Dan Upah Layak Bagi Guru
Selebihnya rasa bangga menjadi guru harus ditopang dengan kompetensi dan profesionalitas. Tanpa kedua hal itu, diyakini kebanggaan kita menjadi sia-sia. Atau menjadi kebanggaan semu. Kita bisa membuktikan jati diri kita yang sesungguhnya. Sosok guru harus menjadi sosok yang fleksibel dan realistis. Guru pun dituntut peka dengan dinamika zaman yang terus berkembang.
Hitam Putih
Guru juga manusia. Manusia yang ingin tercukupi kebutuhan hidupnya. Ketika menjatuhkan pilihan pada suatu pekerjaan (pendidik), ia setidaknya memiliki motif. Dan setiap individu mempunyai alasan tertentu untuk menjadi guru. Ada yang karena dicita-citakan dari masa kecil. Ada yang karena dorongan orang tua. Ada pula yang mau karena melihat peluang. Diajak teman atau tertarik karena ada hal-hal tertentu sehingga ia mau menjadi seorang guru.
Baca Juga : Pertarungan Guru Hari Ini
Dalam hal lain lagi, menjadi guru karena niat untuk melayani sesama. Kemudian yang menyentil adalah menjadi guru karena terpaksa atau disebabkan tidak adalagi pekerjaan lain. Dengan berat batin ia memilih profesi ini. Inilah beberapa contoh alasan orang menjadi guru.
Dalam konteks ini kita menafikan motif ataupun beragam alasan tersebut di atas. Sekarang kita adalah guru, pada pundak kita ibu pertiwi menaruh asa. Masyarakat menaruh ekspektasi yang besar. Sehingga kita harus berlari dengan visi progresif untuk mendongkrak mutu pendidikan di tanah air tercinta ini.
Dalam struktur masyarakat tertentu, memang profesi guru kurang mendapat tempat istimewah. Mereka lebih condong memilih pegawai kantor, yang punya masa depan yang cemerlang. Dengan alasan, nanti bisa menjadi pejabat pemerintah. Bukannya guru yang hanya bisa menunggang sepada kumbangnya saja.
Baca Juga : Siapa Saja Yang Boleh Mengikuti Seleksi PPPK Guru Tahap 3 Dan Apa Itu Kebijakan Optimalisasi Formasi?
Tidak hanya mengandalkan modal semangat dan idealisme pada saat kita melangkah. Kita perlu energi lain sebagai modal (kekuatan), saat di lapangan. Mengemban predikat sebagai pendidik, tidak semulus melewati jalur tol atau jalan bebas hambatan.
Mayoritas kita akan melewati jalan terjal. Di sisi lain, batas antara hati nurani dan aturan begitu tipis. Kadang-kadang rasanya sangat dilematis tatkala diperhadapkan pada sebuah realita antara target dan fakta. Keadaan ini membuka ruang bagi guru untuk berkreasi dan mengeksplorasikan diri. Dengan tujuan bahwa dengan kapasitas yang dimiliki itu si guru mampu menjawab tantangan yang ada.
Selain itu, banyak polemik yang sering menghinggapi tenaga pendidik (guru) terutama masalah kesejahteraan. Kadang-kadang mereka kurang dihargai secara layak. Berat sebelah antara upah dan kerja. Ketika beban hidup makin berat pendapatan seret betapa menderitanya nasib guru. Mereka tersenyum didalam tangisan. Mereka menangis tapi tidak tertangkap oleh mata publik.
Baca Juga : Muara Dari Dedikasi, Cerita Inspirasi Tiga Guru SMK Negeri 1 Pandawai Yang Lulus PPPK
Demi sebuah pengabdian (keluarga dan pendidikan) mereka harus bekerja lagi dari sisa waktu yang ada. Bekerja ganda sebagai guru dan atau sebagai petani, buruh, atau pekerja serabutan lainnya. Dan tentu masih banyak lagi sisi kelam nasib guru. Demi untuk sebuah pengabdian kami ikhlas, itulah jawabannya. Sebab, mereka tidak mau anak cucunya mengikuti jejak mereka.
Ketika fakta menunjukan demikian, apa implikasinya terhadap hasil pendidikan? Mengharapkan hasil panenan yang baik kita memerlukan penggarap yang berkualitas. Karena pada saat proses ia menggunakan mekanisme yang tepat. Seorang pekerja bila bekerja dalam kekuatiran, dalam kebimbangan, atau dalam kecemasan tentu akan bekerja setengah-setengah. Hasilnyapun adalah produk yang tidak berkualitas.
Tidak hanya masalah kesejahteraan guru. Masih banyak masalah lain. Diantaranya adalah tingkat ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan yang belum memadai. Selain itu masalah kuantitas dan kualitas tenaga pendidik, serta distribusi dan pemetaan tenaga pendidik masih dalam problematika. Masalah ini perlu ditengarai secara cepat. Pemerintah perlu tanggap dalam menyelesaikan berbagai masalah tersebut.
Baca Juga : Soal Pengangkatan Guru Honor Komite Menjadi PTT Bisa Berkaca Dari Pemda Sumba Timur
Ketika menemukan kenyataan seperti ini, tidak sedikit guru yang putus asa. Apalagi guru-guru yang diupah rendah dengan tanggungjawab besar. Dia harus berlari terengah-engah dalam mengejar target. Tapi demi nasib anak bangsa sang guru itu berjuang habis-habisan. Itulah hitam putih wajah guru Indonesia. Kendati demikian, dalam kondisi sulit mereka tetap survive.
Wajah Baru Guru
Dalam kebijakan tertentu, pemerintah perlu diberi apresiasi. Karena telah membuat berbagai regulasi yang boleh dikatakan pro-guru. Sebut saja kebijakan sertifikasi guru dalam jabatan. Inilah yang membuat guru merasa mendapatkan angin segar. Saat ini, guru dituntut berusaha dan harus mampu mengembangkan diri agar bisa diakui sebagai guru professional.
Baca Juga : Kesejahteraan Guru
Guru yang diakui sebagai guru profesional tentunya akan memperoleh dua kali gaji. Kehidupannya lebih terasa, setara kinerjanya. Dalam masyarakat pseudo modern yang melihat segala sesuatu dengan ukuran harta, ternyata guru sudah termasuk di dalam tataran itu. Guru sudah bisa disandingkan dengan pejabat pemerintah, atau kalangan BUMN lainya. Hal ini bila dibandingkan dari prespektif materi.
Dalam hal ketrampilan, termasuk penggunaan media teknologi, guru sudah melek teknologi. Seperuh lebih guru Indonesia sudah memiliki laptop, dengan akses internet yang dapat digunakan dimana saja. Tampak juga hal yang tidak dipungkiri, pada daerah tertentu teknologi ini masih menjadi barang antik bahkan masih banyak guru yang apatis dengan media ini.
Kita harus optimis, ini hanya masalah waktu. Media teknologi bukan lagi menjadi barang antik dikemudian hari. Penggunaan metode pembelajaran berbasis ITC makin marak di sekolah-sekolah. Guru-guru disertakan dalam pelbagai pelatihan. Supaya bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman. Guru telah beralih langkah dari gatek menuju melek teknologi.
Di era demokrasi, guru memperoleh kesempatan yang sama untuk menjadikan dirinya sebagai pejabat eksekutif dan legislatif. Diangkat menjadi pejabat teras diberbagai departemen atau kementerian. Tapi ini janganlah menjadi oreantasi utama guru. Kenyataan ini hanyalah merupakan contoh-contoh keberhasilan guru dalam mengaktualisasikan jati dirinya.
Tugas guru yang pertama dan utama adalah mendidik sekaligus turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Kita harus bisa menjalankan amanah para founding father yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Jika anak-anak bangsa atau generasi muda yang kita didik berhasil serta produktif, kira-kira siapakah yang patut berbangga?*
Penulis : Unclebonn, 28 April 2011
No comments:
Post a Comment
Kami sangat menghargai pendapat Anda namun untuk kebaikan bersama mohon berkomentarlah dengan sopan!