Ceritanya seperti ini. Kak, tadi ada temanku yang WA saya dan dia minta saya untuk tanyakan ini kepada kakak.
Kira-kira apa pertanyaannya, dik?
Kakak dengar saya baca, "Tolong tanya kepada kakakmu, kenapa orang yang sudah hamil kok saat menikah dia masih memakai kerudung menutup kepala dan mukanya? Itu kan tidak boleh karena dia sudah hamil?”
Baca Juga : Sebuah Catatan Untuk Pasutri Katolik : Pernikahan Bukan Parade Siklus Atau Mie Instan
Pertanyaan yang menarik. Memang hal ini sudah menjadi rahasia umum di NTT bahwa pengantin perempuan yang pakai tudung di hari pernikahan artinya perempuan itu masih perawan sebagai simbol kesucian dan kehormatan. Sebaliknya, perempuan yang tidak memakai tudung kepala saat menikah artinya dia sudah tidak perawan lagi.
Apakah memang itu sudah menjadi pemahaman umum kita di wilayah NTT?
Benar. Tapi menurut kakak, tradisi ini sangat melecehkan perempuan sebab tudung kepala itu secara transparan memberi label kepada perempuan, dan mempermalukan perempuan di hadapan umat dan keluarga, bahkan tidak memposisikan perempuan sebagai manusia yang setara dengan laki-laki, dan melanggar hak prerogatif perempuan bahwa perempuan punya otoritas atas tubuhnya sendiri. Sedangkan laki-laki tidak diberi label/tanda apapun kalau dia sudah tidak perjaka lagi. Ini merupakan sebuah diskriminasi gender yang benar-benar cacat permanen.
Baca Juga : Apa Sih Maunya Istriku?
Dan saya sangat menolak keras kalau seorang perempuan itu dihormati karena selangkangannya saja. Bagi saya yang terpenting adalah bagaimana seorang perempuan itu tahu mencintai dirinya sendiri, dan memberi hormat kepada dirinya sendiri. Sekali lagi saya mau katakan bahwa kehormatan seorang perempuan tidak seharusnya dinilai dari selaput darahnya, atau dari isi celananya, tapi perempuan adalah manusia yang punya harga diri dan harus dihormati selayaknya manusia pada umumnya dan dalam keadaan apapun.
Memangnya harga diri seorang perempuan itu hanya sebatas perihal keperawanan? Tidakan?
Seorang perempuan tetap seorang manusia yang punya harga diri jika ditinjau dari segi apapun. Bahkan dalam Kitab Suci, dikisahkan ada seorang perempuan yang tertangkap basah berbuat zinah, tapi apa yang dibuat oleh Yesus ketika perempuan itu di bawa ke hadapan-Nya? Yesus justru bilang pada orang-orang yang membawa perempuan itu kepada-Nya, "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu" (Yohanes 8:7).
Baca Juga : Apa Dasar Penggunaan Warna Liturgi Dalam Gereja Katolik?
Yesus saja tidak menghukum wanita itu. Lalu siapakah kita ini sehingga berani sekali memberikan penilaian dan komentar yang tidak sepantasnya kita berikan sebagai sesama manusia yang berdosa?
Ini yang perlu menjadi pertanyaan refleksi bagi kita semua. Apakah masih pantas kita sebagai sesama manusia yang berdosa ini, tetap memberikan penilaian dan terus berkomentar: “Su hamil kok masih pakai tudung saat Misa pernikahannya?” Kita semua mesti sadari ini.
Sebelum menutup diskusi ini saya mau katakan bahwa saya tetap menaruh hormat kepada kaum perempuan yang 'have no sex before married', kalian luar biasa! Tapi dengan pilihan hidup kalian seperti itu, tidak berarti bahwa kalian merasa lebih baik sendiri dari sesamamu dan seenaknya memberi label kepada perempuan lain yang pilihan hidupnya berbeda. Intinya, setiap perempuan itu luar biasa dengan pilihan hidup masing-masing selama dia bertanggung jawab dengan pilihannya.
Baca Juga : Kenapa Beda Rumusan Doa Bapa Kami Dalam Kitab Suci Dengan Rumusan Yang Dipakai Oleh Orang Katolik?
Semoga dengan ulasan singkat ini bisa memberi pencerahan kepada kita semua. Semua perempuan memiliki harkat dan martabat yang sama namun jika ada yang hamil duluan kita tetap menghormati mereka asalkan mereka bertanggung jawab dengan segala perbuatannya.*
Penulis : MYB
Catatan : Artikel ini sudah diedit sesuai kebutuhan blog.
Betul. Sy sangat setuju dengan pendapat penulis.
ReplyDelete