Jika seorang anak didik ditanya siapa saja gurumu? Mereka dengan lugas akan menyebut beberapa nama gurunya. Mereka akan mengingat nama gurunya apalagi guru-guru yang menginspirasi hidupnya. Membuat dia selalu "bergairah" untuk belajar di sekolah.
Lalu bagaimana jika saya ditanya siapa sih gurumu? Tak bermaksud mengabaikan guru-guru saya dimasa lalu. Guru saya adalah setiap orang yang mampu memberi nilai dan inspirasi tentang kehidupan. Dia yang memberi harapan tentang kehidupan. Dia yang selalu berpikir positif dan optimis. Bahkan alam dan isinya dengan segala keindahan dan kemegahannya. Dia adalah sumber belajar. Bagi saya dan mungkin juga bagi Anda.
Kebetulan seperti sore itu di Vila Samurai (10/06/2020). Saya juga perlu mendengar pandangan dari sesorang yang jauh lebih muda dari saya. Mungkin selama ini saya selalu beropini (menulis) namun saya akui saya juga punya banyak keterbatasan. Maka wajar secara sadar saya perlu mendengar dari siapa saja. Termasuk si rambu di depan saya saat itu.
Baca Juga : Mengapa Friend Request Anda Belum Direspon?
Jangan melihat siapa dia tapi dengar apa yang dia katakan. Jangan lihat usianya, keberadaannya atau fisiknya tapi apa yang dikatakan dan apa yang diucapkan. Bijaksana adalah akumulasi seluruh pengalaman hidup. Kata orang, seorang pemimpin itu yang dipegang kata-katanya.
Topik kami saat itu tentang kemanusiaan. Kemanusiaan yang menjangkau siapa saja. Jika seorang anak muda misalnya, Rambu Ana Awa (Rambu Pink) mulai tertarik berbicara tentang kemanusiaan dan kebangsaan saya yakin bangsa ini akan damai. toleran dan terus bersatu.
Baca Juga : Catatan Anak NTT Tahun 2016 : Mario G Klau, Kebanggaan Dan Asa Orang NTT
Kemanusiaan itu menjangkau. Dia tak boleh menciptakan sekat-sekat. Kemanusiaan adalah jembatan penghubung. Dia melintasi segala perbedaan. Dia merangkul yang lemah dan menolong yang susah.
Sebagai seorang guru saya juga belajar dari rekan sejawat bahkan belajar dari anak didik. Terutama tentang keceriaan mereka, tentang kepolosan mereka dan tentang kejujuran mereka. Mereka bahkan bisa menjadi "rekan kerja" yang baik. Cenderung manut pada gurunya. Menaruh asa pada gurunya bahkan fokus pada cara kerja gurunya. Kemudian mereka mengguguh dan menirunya. Lalu mereka olah dalam panci imajinasi mereka.
Baca Juga : Cerita Untuk Sang Mantan
Begitulah kisah di sore itu. Dua tahun lalu ketika saya berpikir saya mesti menyimak sebuah pikiran yang sederhana. Tidak dari nara sumber yang hasil analisisnya (pembicaraannya) membutuhkan analisa tingkat tinggi agar saya sanggup memahaminya. Cukup dari seorang sumber yang berbicara berdasarkan realitas. Berbicara apa adanya. Berbicara dengan penuh rasa hormat.*
Catatan: Artikel ini diolah dari postingan Facebook, 10 Juni 2020.
Baca Juga : Bicara Home Learning Diawal Pandemi Covid-19
No comments:
Post a Comment
Kami sangat menghargai pendapat Anda namun untuk kebaikan bersama mohon berkomentarlah dengan sopan!