Di lorong-lorong itu mereka menaruh asa, menaruh harapan mungkin juga perhatian. Itu yang aku pikirkan. Kamu tak menyangka bahwa orang yang begitu anggun dimatamu dia begitu rendah hati mengambil keputusan tentang sebuah asa, tentang sebuah impian - kembali dengan selamat ke kediaman. Ia bisa saja memeluk mesra anaknya dan berkata, "Nak, kamu kuatkan mendampingi ibumu?"
Kita memang sesaat ini begitu. Disebuah lorong ini dalam pelayaran ke Waingapu. Pelayaran melintasi lautan biru diatapi awan putih dan langit.
Baca Juga : Dyra Juliani
Aku lalu pamit pada kekasih jiwaku. "Kemana kamu mau pergi?" Ia bertanya padaku.
Dunia dan cinta ini tak akan pernah kehabisan akan keindahan jika ada kurang dan lebihnya. Semesta selalu merestui jika semua dimulai dengan niat dan itikad baik. Akan menyatu pada setiap orang yang memahami akan hakikat manusiawi
"Aku mau ke deck enam mau cari tempat istirahat." Kujawab dengan penuh keyakinan agar jangan sampai ada lagi pertanyaan lanjutan.
Baca Juga : Jejak Digital Part 1 Raymundus Sau Fernandez, Lahir Untuk Berjuang
Sebenarnya aku mau menikmati lorong senyap. Dan akhirnya akupun menemukan sebuah bangku kayu tua. Agar heran memang saat itu kenapa bangku tua itu tak ditempati penumpang? Padahal sebuah tempat yang layak untuk dijadikan tempat duduk sampai menunggu waktunya tiba.
"Permisi oma, permisi dek." Pintaku untuk melewati jalan itu menuju ke bangku tua itu. Dan akupun tiba juga ditujuanku. Bangku tua itu kududuki.
Pantasan kenapa orang tak mau menempati bangku tua ini. Walau diatasnya ada atap. Mungkin karena suara mesin kapal yang bising disekitarnya. Ah persetan. Yang penting aku bebas dari lalu-lalang penumpang lain. Ku ambil headset dan langsung ku pasang didua kuping ini. Menikmati beberapa lagu rohani kristen. Ah syahdu rasanya seraya menikmati hamparan luas lautan. Disini di tengah lautan ini di bawah langit ini manusia serasa begitu kecil. Tak berdaya jika tanpa sarana angkutan.
Baca Juga : Pelangi Senja Di Pantai Walakiri
Ku palingkan pandangan ke kiri. Ya pada dua sosok itu. Seorang bocah berusia sembilan tahunan dan seorang ibu 60 tahun yang benar-benar terpisah dari penumpang lain. Wajah mereka tampak chinase. Apakah bocah itu cucunya? Apalagi anaknya? Tak ada kepastian. Namun kujumpai adalah rasa cinta yang diberikan pada bocah itu. Dia selalu dipeluk oleh ibu itu.
Aku mengambil posisi tidur namun mataku selalu tertuju pada dua sosok tadi di sepanjang lorong kenangan itu. Disini, di lorong-lorong itu kamu mesti mengambil keputusan. Merelakan kenikmatan suasana rumah, melepaskan semua predikat yang disematkan pada dirimu.
Imajinasiku kembali kepada pandangan pertama. Bocah kecil bersama seorang ibu itu. Seorang ibu yang tampak anggun yang aku kenal dan orang-orang disekitar telah mengambil keputusan. Di lorong-lorong ini ada asa, ada harapan dan bahkan perhatian. Tak ada kehinaan. Kita sama.
Berjam-jam aku mesti menghabiskan waktu di bangku itu menunggu waktu tiba. Kali ini aku yang dijadikan objek bagi dua sosok itu. Sorot mata bocah itu begitu tajam padaku. Entahlah apa yang mereka pikirkan. Apakah aku mungkin dianggapnya pria aneh kah?
Baca Juga : Belajar Bisa Dari Siapa Saja
Namun dia tak menyadari bahwa pria aneh ini juga akan membelanya jika ada perilaku tidak wajar yang mengarah pada mereka. Mereka yang berbaring beralaskan tikar. Mereka yang menunjukkan sikap tanggung jawabnya. Mereka yang selalu penuh cinta pada pasangannya, pada anaknya, pada ibu mereka.
Dan tentang tiga wanita Sumba
Ke Ende kali ini aku ditemani tiga wanita Sumba. Ini perkenalan resmi walau kehadiran kami karena suasana duka yakni kepergian seorang manusia (nenek) berusia 104 tahun.
Baca Juga : Rosario Di Dusunku
Ini tentang nilai cinta dan kemanusiaan, peduli dan kasih sayang. Saling memahami dan saling menghormati. Bersama sang istri dan seorang perempuan terhormat yang aku akui sebagai mama angkat dan seorang saudara lainnya. Ini bagaimana mengenali budaya Ende kepada orang Sumba. Bagaimana menjaga dan belajar tanggung jawab.
Namun dunia dan cinta ini tak akan pernah kehabisan akan keindahan jika ada kurang dan lebihnya. Semesta selalu merestui jika semua dimulai dengan niat dan itikad baik. Akan menyatu pada setiap orang yang memahami akan hakikat manusiawi.
Baca Juga : Cerita Untuk Sang Mantan
Terima kasih atas segala cintanya. Kepada bunda, kepada keluarga Sao Bhenga dan semua orang yang telah memberikan atensinya kepada kami. Terima kasih atas segala cintanya. Tuhan memberkati. Di Sumba kami akan mencatat tentang sebuah kisah dari Ende dan kelak akan menjadi sebuah nostalgia indah.
Diakhir tulisan aku mencoba kembali mengarahkan pandangan ke sebelah kiri. Ah kasihnya tetap sama. Ia membiarkan bocah laki-laki itu meletakkan kepalanya pada pangkuannya. Lorong-lorong itu tetap ramai. Namun sedikit mata saja yang menengok di depannya ada pelajaran tentang nilai-nilai kehidupan.*
No comments:
Post a Comment
Kami sangat menghargai pendapat Anda namun untuk kebaikan bersama mohon berkomentarlah dengan sopan!