Foto : Rambu May Nggadi (14/10/2017) |
Di pertengahan tahun 2006 saat saya masih di Kupang, saya sempat berkenalan dengan seorang gadis dari Sumba. Saat itu teman-teman mengingatkan saya, "Bro, hati-hati oo sama nona Sumba, belis (maharnya) mahal (hewan ratusan ekor), emas murni mesti puluhan gram dan berbagai hal lainnya."
"Kalau tidak sanggup mending kamu mundur saja. Selain itu nona Sumba di kenal agak sombong (maaf ya)." Begitu cerita mereka.
Artinya bagi orang awam kondisi ini perlu hati-hati, mending kamu balik kanan dan cari wanita lain. Itu saran mereka.
Benarkah Wanita Sumba Sombong?
Dan baiklah. Saya ingin dan sedikit mengupas tentang cerita nona (gadis) Sumba. Tak perlu pakai catatan kaki tulisan ini bisa membuka cara kita melihat perempuan Sumba.
Teman-teman sekalian secara umum panggilan atau sapaan santun kepada perempuan Sumba itu rambu. Tapi dalam konteks tatanan sosial masyarakat di Sumba, rambu itu tidak berlaku untuk umum. Maksudnya untuk semua perempuan asli di Sumba, rambu itu hanya dari kalangan tertentu saja. Rambu melekat erat pada kaum perempuan golongan bangsawan atau dalam konteks lokal disebut maramba.
Untuk urusan adat perkawinan para kaum pria Sumba harus cukup modal untuk membelis perempuan Sumba. Ya seperti saya sebutkan angka-angka di atas tadi.
Namun dengan perkembangan zaman untuk urusan adat hewan dengan jumlah ratusan ekor berlaku untuk kelompok tertentu saja. Kalau pendatang sih ada dispensasinya. Intinya tergantung cara orang membawa diri dihadapan keluarga perempuan Sumba.
Jika nona Sumba dibilang agak sombong mungkin karena ada bawaan dari status sosialnya yang sudah melekat secara alamiah itu. Misalnya, jika dia mesti dipanggil rambu A tapi kamu hanya bilang hai A, tentu kamu dicuekin. Atau menyapanya dengan nada yang sedikit kasar jelas kamu dicuekin. Dalam budaya Sumba etika bertutur kata begitu diperhatikan.
Sikap respect kepada kaum maramba itu juga terbentuk secara alamiah dalam konteks tatanan sosial budaya di Pulau Sumba khususnya Tau Humba (orang asli Sumba) itu sendiri. Sedangkan bagi orang luar yang terjadi karena kawin mawin dengan orang Sumba akan melakukan adaptasi dengan masyarakat setempat.
Walau wanita Sumba dengan tampilan elite saat menempuh pendidikan di luar pulau Sumba namun setelah kembali ke rumah mereka (kampung halamannya) mereka adalah wanita yang sangat memilihara budaya dan tradisinya. Mereka menjadi Rambu Sumba yang lazim mengerjakan pekerjaan perempuan pada umumnya. Menenun, bertutur kata yang halus, dan berperilaku seperti wanita pada umumnya. Tapi memang ada beda sikap dan perlakuan.
Saya mencontohkan wanita dalam foto ini, Rambu Ina, misalnya. Kalau sedang di rumah tampilan sangat sederhana dalam beberapa hal. Beda kalau kita ketemu rambu ini di luar.
Rambu ini melaksanakan kegiatan menenun, menggulung benang dan membantu pekerjaan ibunya di dapur.
Dengan penampilan seperti di foto ini, kamu pasti tidak menyangka rambu ini berpendidikan S2, punya keluarga besar dan tajir. Sekarang Ibu Rambu May Nggadi, S.Kom.,MM tercatat sebagai anggota DPRD Kab. Sumba Timur dari Fraksi Golkar.
Karena sikap mereka seperti ini makanya saya memantapkan hati dan niat menikah dengan nona Sumba.
Kaliuda, 14 Oktober 2017
Catatan: Artikel ini sudah diedit sesuai kebutuhan blog.
No comments:
Post a Comment
Kami sangat menghargai pendapat Anda namun untuk kebaikan bersama mohon berkomentarlah dengan sopan!