Saya beberapa tahun lalu mengidolakan Chelsea, Real Madrid dan Liverpool. Karena suatu peristiwa (pupus juara) akhirnya saya kembali memilih sang mantan, Manchester United (CLBK) dan Barcelona (idola baru) karena ada Messi-nya.
Di saat saya menikmati remah-remah kisah masa lalu dengan sang mantan, mereka yang ditinggalkan berubah menjadi tim yang kuat dan bermental juara.
Lantas apa saya mesti kembali ke hati mereka demi sebuah kepuasan karena kenangan yang sempat mengisi ruang hati?
Baca Juga : Apakah Jan Ethes Penerus Tahta Dan Singgasana Pakde Jokowi?
Sebagai mantan yang baik sikap saya adalah memberi ucapan selamat, dukungan moril, semakin memotivasi mereka agar mereka kian sukses dari hari ke hari. Tak lupa, saya akan berdoa buat mereka semua.
Politik dan sepak bola itu dua bidang yang berbeda. Tapi proses untuk menuju "goal"-nya nyaris sama. Teknik, strategi dan intrik-intrik dipakai agar bisa keluar sebagai jawara.
Bedanya sepak bola dengan politik pada aturan baku yang harus ditaati bersama yaitu fair play dan menjunjung sportivitas. Dalam politik dinamikanya begitu cair. Sehingga jalan pintaspun dianggap pantas. Mestinya seorang politisi belajar bagaimana menjadi seorang pemain sepak bola yang teguh pada nilai-nilai olahraga. Walaupun tensi pertandingan panas disertai agresivitas tinggi mereka tetap komit dengan aturan yang ada.
Baca Juga : Bahasa Rakyat, Modal Sukses Untuk Para Calon Legislatif
Mereka memberi respect dan reward kepada para pemenang dan akan berkompetisi secara sehat demi sebuah kehormatan dalam episode kompetisi yang akan datang. Bukan ingin melakukan sabotase dengan ajakan seperti orang yang gagal move on.
Bukan karena kita mantan juara dan "penguasa" kompetisi kita jadi alergi dengan sang juara baru dengan tampilan permainannya yang cantik, kalam dan memukau. Omegot!
Waingapu, Januari 2017
No comments:
Post a Comment
Kami sangat menghargai pendapat Anda namun untuk kebaikan bersama mohon berkomentarlah dengan sopan!