Saat masih menjadi mahasiswa di sebuah kampus kedinasan di Jakarta ada sepenggal kisah hidup yang masih tersimpan rapih dalam benak saya. Dan sampai hari ini masih menjadi tanda tanya. Apa maksud kejadian unik itu?
Ceritanya begini. Saat itu setelah magrib saya diajak oleh seorang staf pegawai dari kampus saya. Sebagai mahasiswa (taruna) tak mungkin saya menolak ajakan itu. Didikan ala militer, taruna dituntut taat pada senior apalagi instruktur, dosen atau kepada pegawai.
Baca Juga : Dia Laki-Laki Ibunya
Kejadian ini berlangsung pada saat praktik integrasi tahun 2003 di Rembang, Jawa Tengah. Saya hanya menuruti apa kata dia. Apa maksud beliau saya tak paham. Tak sedikitpun kecurigaan dalam benak saya. Dalam perjalanan ia memberitahu saya kalau kami berdua akan ziarah ke makam salah satu tokoh ulama di Rembang.
Sempat kaget mendengar penjelasannya. Tapi dengan tutur katanya yang ramah, sikap beliau yang santun, rasa penasaran dan sedikit kecurigaan itu berlalu dari benak saya.
Pokoknya tokoh itu memiliki pengaruh dan kemampuan supranatural. Informasi ini dari cerita singkat bapak itu. Saya sempat mengkonfirmasi tokoh itu ke beberapa nelayan saat saya melaksanakan praktik laut. Dari cerita para nelayan, tokoh itu begitu berkesan bagi saya. Hal ini saya gali setelah kami kembali dari ziarah ke makam itu.
Baca Juga : Adeus Bonita
Beliau hanya bilang ke saya. Kamu beruntung. Mungkin kamu yang saya harus ajak ke makam itu. Suasana makin gelap. Walau demikian tak sedikitpun kebingungan dari bapak itu selama perjalanan ke lokasi makam tersebut.
Kami akhirnya berhenti di salah satu makam. Makam itu beratap dan memiliki sebuah batu pusara dengan ornamen yang islami. Karena sudah gelap saya tak melihatnya secara persis. Di depan pintu makam itu, beliau memberi salam, "Assalamualaikum....". Ia menyebut lagi, "Bismillah....".
Terus terang saja, pada saat itu saya serba bingung dan kaku. Apa yang mesti saya lakukan? Sepertinya beliau memahami kecanggungan dan sikap tak nyaman saya.
Baca Juga : Lorong-Lorong Kenangan, Sekelumit Kisah Pelayaran Ende Waingapu
"Dek, masuk aja. Tak apa-apa," ajaknya
Saya masuk dan mengambil posisi di belakang bapak itu. Ia menyuruh saya: silahkan berdoa sesuai agamamu. Sebagai orang Katolik saya memulai doa di makam itu dengan tanda salib. Saya sudah lupa doa apa yang sudah saya panjatkan di makam itu. Setidaknya itu menjadi pengalaman pertama dalam sejarah hidup saya.
Setelah itu kami kembali ke rumah indung semang saya.
Ketika hari ini kita sibuk dengan masalah perbedaan saya jadi ngeri sendiri. Atau apakah agama orang lain bisa mengikis keimanan saya? Sampai hari ini saya tetap Katolik dan tetap Indonesia walau bukan seorang katolik yang taat dan baik. Tapi saya berusaha terus belajar iman Katolik, sebagai iman hidup saya.
Baca Juga : Dyra Juliani
Saya mau tanya pada Tuhan yang saya imani apakah Tuhan marah dengan sikap saya itu? Tapi kalau Tuhan marah, la pasti telah membuat hidup saya menderita. Tapi saya bersyukur setiap saat saya masih menikmati berkat dan anugerah dari-Nya.
No comments:
Post a Comment
Kami sangat menghargai pendapat Anda namun untuk kebaikan bersama mohon berkomentarlah dengan sopan!