Sunardian Wirodono/Facebook.com - 19 Maret 2017 |
UMBU SANG DEMONSTRAN | Umbu Landu Paranggi, selama ini dikenal sosoknya sebagai sang guru puisi, guru sastra, guru seni dan budaya, bagi para muridnya di Malioboro dekade 70-an atau di Denpasar pada era sesudahnya.
Dalam catatan kenangan Ashadi Siregar, sobatnya sesama kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM 1968, Umbu bisa dikenang dari sisi lain. Jika Bang Hadi, panggilan akrab Ashadi Siregar, berkawan akrab dengan Umbu, justeru bukan karena sastra. Tapi karena keduanya aktivis anti Soeharto.
Apalagi sekitar 1968, ketika Suratkabar Mingguan Umum Publica, yang dikelola Bang Hadi, berkantor pada salah satu kios kecil di Taman Garuda (sekarang area parkir Malioboro). Keduanya sering bertemu dan ngobrol.
Malam hari, Umbu yang mengasuh rubrik sastra di Suratkabar Pelopor Yogya (berkantor di lantai dua pertokoan Malioboro), sering singgah di kantor Bang Hadi. Apalagi Publica dan Pelopor Jogja menggunakan percetakan yang sama.
Meski Ashadi Siregar kondang dengan novel ‘Cintaku di Kampus Biru’, Bang Hadi agaknya selalu tampak enggan jika dituding sebagai pesohor dalam penulisan fiksi, apalagi sastra. Bang Hadi memang lebih bangga dengan dunia jurnalisme yang digelutinya. Dan obrolan dengan Umbu juga tak pernah berkait sastra.
Antara Bang Hadi dan Umbu, lebih banyak dipertautkan aktivitas mereka dalam dunia gerakan mahasiswa. Ikut dalam berbagai aktivitas seperti gerakan anti korupsi, golput (golongan putih, gerakan untuk memboikot Pemilihan Umum pertama Orde Baru, 1971), penentangan proyek dana non-budgeter Taman Mini Indonesia Indah (TMII), dan Malari 1974.
Lebih-lebih ketika keduanya bersama-sama mengelola Suratkabar Mingguan Sendi, penerbitan pers yang dikelola oleh aktivis mahasiswa seperti Daniel Dhakidae, Gaspar Ehok, M. Aini Chalid, Parakitri Tahi Simbolon, Peter Hagul, dan Zulkifly Lubis. Bang Hadi selaku pimred SKM Sendi, sementara Umbu mengasuh rubrik sastranya (sembari tetap mengasuh rubrik yang sama di Pelopor Yogya).
Sayangnya Sendi berumur semusim jagung. Surat Ijin Terbitnya dicabut Menteri Penerangan Budiardjo awal 1972. Bang Hadi, selaku pimred dan penanggungjawab, diadili dengan dakwaan menyebarkan kebencian terhadap kekuasaan negara dan penghinaan Presiden Soeharto.
Akan halnya Umbu, di Sendi tak pernah ngomong sastra (dan sebaliknya di Pelopor, bersama orang-orang Malioboro, tak pernah ngomong politik). Sebagai aktivis gerakan mahasiswa, tahun 1972 Umbu bahkan pernah ke Jakarta, bersama kelompok aktivis anti korupsi lainnya dari Jakarta dan Bandung. Masuk Istana Negara bertemu Soeharto.
Menurut Bang Hadi, yang tidak ikut dalam rombongan ke Istana itu, konon Soeharto marah pada Umbu. Karena Umbu menghujatnya? Karena penampilan presiden Malioboro kala itu; Rambut gondrong, bercelana jin, dan memakai blangkon secara terbalik. Mondolannya ditaruh ke depan, di jidatnya, seolah menantang Soeharto!
Ditulis oleh Sunardian Wirodono/Facebook.com - 19 Maret 2017
No comments:
Post a Comment
Kami sangat menghargai pendapat Anda namun untuk kebaikan bersama mohon berkomentarlah dengan sopan!